Minggu, 14 November 2010

Memahami Teror Mapolsek di Deli Serdang

Berbalas pantun berdarah-darah. Semisal pepatah lama : batu di balas batu, bukan kapas, demikian menyimak teror di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang Sumatera Utara kemarin.

Kegusaran kriminalitas ini, hampir layak di samakan dgn suasana terror Mafioso obat bius di Mexico. Berulang-ulang aktor besar dan utama di tangkap dan ditembak, tetap saja masyarakat di sana masih merasa tidak aman, hingga media sekaliber el diario (kalo gak salah), memohon-mohon lewat tajuk rencananya agar supaya jurnalisnya tdk ditembak( setelah kematian dua jurnalisnya) asalkan kemauan Mafioso yang perlu di tulis dan tidak di tulis disampaikan.

Nampak, perang melawan Terorisme ala Indonesia berkelebat hantu-hantu beranak pinak teroris sampai ke buhul-buhulnya. Mati satu tumbuh seribu. Frase ini kayaknya layak tidak saja bagi masa pejuang dulu, tetapi laksana pohon pisang, semakin di tebas semakin bertunas.

Salah dan Benar

Kalau demikian, apa yang salah dan benar dari perang terhadap terorisme di Indonesia? Yang benar, Polisi tampil untuk melindungi masyarakatnya dari “”setan-setan terkutuk”” itu meminjam istilah salah seorang pejabat Kepolisian. Yang salah, tebasannya kurang mengakar, visioner dan ideologik kayak politisi aktivis. Yang benar, polisi mesti bertindak cepat, akurat, tegas dan prosedural. Yang salah, semua demi pencitraan, atau bahkan sekedar alih isu. Yang benar perang terhadap terorisme di Indonesia adalah tugas semua pihak, bahkan untuk tukang kritik yang paling radikal sekalipun. Yang salah, polisi dan pemerintah merasa ini urusan dia belaka. Dan banyak lagi akan berjejeran silogisme benar dan salahnya perang melawan Terorisme di Indonesia ini.

Padahal, mudah menebak, kenapa terorisme berjamur semerbak seperti di musim hujan. Tirakat kita tidak utuh menempatkan fungsi moral dan sosial di rel yang benar, Pemampat ideology utama : Pancasila tidak laku dalam tindak aparat, elite dan publik serta Agama sudah menjadi semacam pelarian dan penjara alienasi karena kekecewaan peranan Negara di masyarakat, yang anehnya mereka hadir, binal dan bebal di ruang warga yg wajib dilindungi oleh Negara itu.

Dedahan wacana pluralitas, toleransi, dialog antar agama menjadi rubrik dan menu semua Kampus besar dan kecil, termasuk banyak lembaga dan organisasi besar mendendangkannya. Dari Muhammadiyah, NU, HMI, HTI, PGI, PMKRI, GMKI, Sinode GMIM sampai dengan sekelas Karang Taruna dan Remaja Mesjid, Remaja Gereja, Kolom Bapak-ibu.

Ini juga menjadi diskursus yang tidak habis-habisnya hingga hari ini.

Lantas mengapa ada sebagian saudara-saudara kita yang mendendang minus dari nada nan indah ini? Oke, kita anggap itu bagian dari hiruk pikuk euphoria demokrasi, karena semua elemen, meski yang paling berbeda sekalipun mendapat ruang ekspresi di sini. Tetapi, mengapa sebagian ini semakin menjadi-jadi, ibarat pemangkas rumput pluralitas, atau seperti fenomena La Nina di Jawa dan Bali yang membikin panen padi tidak jadi dan sebagian Puso ratusan bahkan ribuan hektar. Apakah media turut menjadi-jadikannya seperti itu, atau karena teladan-teladan publik, tokoh, elite dan pemerintah yang bersolek moralis, tetapi kelakuannya munafik, koruptif dan eksploitatif berdarah-darah.

Rasa-rasanya, yang terakhir inilah yang dimaksud dengan tirakat kita yang tak utuh menempatkan fungsi moral dan sosial di rel yang benar. Ini bisa kita lacak sebab-musababnya secara lokal, nasional, regional bahkan global. Dari urusan baju pejabat yang ratusan juta hingga urusan kemiskinannya MDGs yg di bahas PBB di New York sekarang ini, karena Samir Amin bilang ini cuma kerjaan Neoliberalis belaka kok!

Kedua, tentang soal Ideologi Negara, saya tertarik, beberapa kali salah satu chanel Televisi di Indonesia menyiarkan acara yang cukup menggelitik, caranya sederhana: mewawancarai warga apakah masih menghafal sila-sila Pancasila, lain waktu apakah masih menghafal lagu-lagu kebangsaan. Hasilnya, sedikit banyak yang tahu, tapi kebanyakan salah mendendangkannya.

Meski tidak mau mereduksi, tapi ideologi Pancasila sekarang ini semakin tidak populer. Ada yang menganggap : racun keong rezim Soehartois menjangkitinya berkali-kali, hingga kurang dinamis terbang di era demokrasinya reformasi sekarang ini. Buktinya, perilaku Pancasilais rasa-rasanya kurang trendy bagi elite, tokoh dan mahasiswa. Kerap kita lebih bangga di sebut Liberalis, Sosialis, Neoliberalis, Agamis dan is-is lainnya. Untuk urusan ekonomi, lebih bangga mengutip metodologi-metodologi asing ketimbang berkreasi dengan ideologi ini, padahal banyak kok pemikir-pemikir kita yang mumpuni dengan dasar ideologi yang kita punya lantas kreatif dan memerinci prinsip-prinsip ekonomi khas Indonesia.

Padahal dengan Pancasila (mungkin saya lebay..), kerukunan hidup, dan toleransi menjadi perekat kesatuan dan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara. Dengan Pancasila, mungkin urusan pendidikan sudah lama anggarannya di atas 20% APBN, dan inflasi pendidikannya tidak naik sampai dengan 154 % (sejak Januari 2002), kemiskinannya tidak akan melejit di atas 30 juta, pengangguran mungkin sudah di bawah 9 %, kekayaan tidak akan hanya di nikmati 10% terkaya di Indonesia. Dengan Pancasila, mungkin tidak bakalan ada tirani mayoritas atas minoritas. Dengan Pancasila, mungkin ekonomi kita pertumbuhannya yang tertinggi di Asia Tenggara, bukan 6,2 % tetapi setara Singapura dan di atas Vietnam, mungkin pula kita jadi Negara pengekspor komoditas-komoditas unggulan dunia, dan bukan pengekspor TKI murah dan pengacau internasional . Sehingga ruang alasan untuk mendedah aksi heroik dengan alasan apapun, bukan tidak ada, tetapi kecil, terlokalisir dan terkendali. Birahi radikalisasi tidak akan meluap-luap untuk membakar Bali, atau memberondong Bank dan Mapolsek Hampar Perak barusan. Semoga saja.

Soal agama, seorang intelektual Muslim, era 90-an pernah mengemukakan sebuah frase “dulu agama ada sebagai penyelamat manusia, tetapi sekarang manusia berusaha menyelamatkan agama”. Amboi, apa jadinya peranan sekarang?, benarkah demikian?

Wajah kebersahajaan agama berganti menakutkan akibat teror dengan alasan agama. Petunjuk dan berita penyelamatan manusia dari kegelapan, kekufuran berubah usaha aksi-reaksi manusia menyelamatkan agama dari kepungan globalisasi nilai dan material. Sudut pandang keberagamaan, pendulumnya bukan “ud’u fii sabilillah”, tetapi sudah pada “ walan tarda..dan seterusnya “. Agama, di taksir sebagai idaman dan cita-cita heroik dengan cara-cara banal, liar dan menjemukan. Agama yang indah dan damai di tegakkan dengan pedang, bom dan senjata. Agama menjadi antipati negara, demikian sebaliknya. Padahal, agama mestinya merupakan tameng negara dan demikian sebaliknya untuk urusan moral, budaya, pendidikan, ketenteraman, kesatuan, kebangsaan dan sebagainya, tetapi kenapa berubah demikian.

Bila di telisik, ada kekecewaan mendasar, selain karena urusan sisa-sisa masa lalu, dimana agama(Islam) di anaktirikan negara dan stigmatisasi-stigmatisasi, juga berleha-lehanya aparat dan elite dalam hegemoni negara-negara Neolib semacam Amerika dan Inggris untuk urusan kesejahteraan dan mekanisme kepemerintahan. Ke-alpaan ini, bersambung dengan misi dan musuh gerakan terorisme internasional yang mengatasnamakan agama(Islam).

Celah inilah yang diinfiltrasi sedemikian rupa, secara professional di indoktrinasi, dididik, dilatih dan dipersenjatai untuk melakukan perilaku biadab dengan mengatasnamakan agama yang padahal buat agama itu sendiri tak mengiyakannya. Anehnya celah itu bukan mengecil, malah melebar dan bahkan semakin liar tak terkendali dan berani.

Dari alasan-alasan ini, saya berusaha memahami kejadian teroris di Indonesia akhir-akhir ini, dengan kejadian terakhir pemberondongan di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang Sumatera Utara kemarin. Semoga mebelalakkan mata untuk kemudian mencari alternatif solusi yg mengakar, terstruktur, dan yang lebih utama menenangkan serta mensejahterahkan umat Indonesia . Wallahu a’lam

(dimuat di Kompasiana tgl 24 sept 2010, beralamat di : http://regional.kompasiana.com/2010/09/24/memahami-teror-mapolsek-di-deli-serdang/