Senin, 16 Juni 2008

PELAJARAN DARI OBAMA…

Riuh politik Indonesia, semenjak reformasi 1998 hingga hari ini, terasa mengingkari peran orang muda dalam momentum politik demokrasi Indonesia yang dicita-citakan. Terasa, kereta reformasi dirampas oleh generasi tua dan sisa-sisa Orde Baru. Sedangkan orang muda, termasuk mahasiswa dikerangkeng sedemikian rupa untuk dibuat tidak mampu memapah reformasi Indonesia yang dicita-citakan. Maka, sebetulnya tak layak jikalau kita mau mengevaluasi kinerja 10 tahunan pasca reformasi, karena toh yang menjadi aktor dan pelaksananya adalah terpidana-terpidana reformasi. Ibarat, Mahasiswa dan orang muda yang menodong mereka semua ke Lembaga Pemasyarakatan Reformasi, sesampainya disana bukan mereka yang di penjarakan, melainkan mahasiswa dan orang muda itu sendiri.

Dalam tahun 2008 sekarang ini, ada dua hal yang mestinya menyibak rasa dan peran orang muda dan mahasiswa di Indonesia. Pertama, sirkularitas kebangkitan bangsa yang diemban orang muda dan mahasiswa semenjak perasaan itu menentukan adanya bangsa dan Negara ini , 100 tahun lalu. Sirkularitas satu abad kebangkitan tersebut, layaknya dilihat sebagai paparan peran dan semangat kebangsaan yang mestinya dicontohi dan ditauladani sedemikian rupa demi langkah optimis ke depan, menuju Indoesia yang kita cita-citakan. Tentu, dengan melihat kualitas sejarah seratusan tahun tersebut mestinya dapat mencambuk semangat dan keberpihakan kita bagi pembangunan bangsa yang beradab, makmur dan sentosa. Tetapi, memang tidak sesederahana itu, kegagalan 10 tahunan reformasi yang kita lakukan hingga hari ini, harusnya menyadarkan kita semua untuk reformulasi gerakan dan kembali bergerak, kalau perlu mengagendakan diri untuk merebut momentum 2009. Ingat, kita belum boleh harus percaya dengan generasi tua yang gagal meng upgrade bangsa ini.
Kedua, Mudahnya informasi di raup dalam abad Tekhnologi Informasi sekarang ini, membuat isu dan kehebohan besar di seberang Negara, bisa mencambuk spirit politik orang muda di Indonesia. Inilah yang terjadi dengan hebohnya orang muda semacam OBAMA meliuk jalan terjal mendaki jalur demokrasi di negara paman sam United States Amerika. Yah, Obama menjadi orang pertama, berkulit hitam , muda, pintar, dengan latar belakang multi etnis calon presiden dari partai Demokrat paling laku abad ini. Dia mengalahkan saingan terkuat, Hillary Rodham Clinton, istri mantan presiden Bill Clinton.

Bullshit dengan perayaan-perayaan
Sekiranya kita tak menemui raupan spirit orang muda itu pada perayaan-perayaan besar semacam seratusan tahun kebangkitan nasional kita, atau kekecewaan kita dengan sepuluh tahun kegagalan reformasi yang kita perjuangkan, maka, sewajarnya Obama, yang sempat menghirup Indonesia, menjadi panutan dan pencambuk motif muda Indonesia.
Daripada kita sibuk membantah habis-habisan kalangan reaksioner Islam atas prakarsa dan perayaan-perayaan imbuhan kebhinekaan dan kebangkitan nasional yang kita lakukan, lebih baik kita mencerna tauladan Obama dan sistem demokrasi serta masyarakatnya dalam politik Amerika mutakhir.
Dilahirkan dari pasangan Barrack Hussein Obama, seorang Kenya dan Ann Dulham, wanita cantik berkulit putih yang sama-sama di Harvard University, tidak membuat Obama kecil merasa kasih sayang yang sempurna dari kedua orang tuanya. Karena setelah pisahnya kedua orang tua, dimana Barrack Senior pulang ke Kenya dan Ann Dulham mendapatkan kekasih barunya dari Indonesia Lolo Soetoro, kemudian tinggal di Indonesia dimana Obama turut serta, tidak membuat Obama betul-betul seperti anak pada umumnya. Meski Obama yang sempat tinggal di Indonesia, sempat menyaksikan kemiskinan dimana-mana pada tahun 70-an itu, membuatnya tetap rindu sama keluarganya, akhirnya pulang ke rumah kakek-neneknya di Hawaii.

Lulusan Fakultas Hukum Harvard University dengan predikat Magna Cum Laude ini, semenjak itu bertarung dengan nasibnya, menjelajah relung-relung masyarakat demokrasi Amerika, yang akhirnya membuat ia terdampar di politik hingga membuatnya menjadi sekarang ini “the presumptive Democratic nominee” untuk calon presiden Amerika dari Partai Demokrat.

Pelajaran yang bisa diambil
Apa yang layak mencambuk kita orang muda Indonesia untuk mengambil pelajaran tentang fenomena Obama ini.

Pertama, Sistem demokrasi membuat siapapun memiliki peluang untuk menunjukkan prestasinya, sekalipun itu menyangkut kendali setir kekuasaan sebuah Negara.

Sudahkan kita menikmati hal seperti ini, mengingat kita telah berjuang dan mencatat bahwa arah bangunan demokrasi sudah dimulai semenjak reformasi 1998?
Sepuluh tahun sudah berjalan, sekiranya masih di sebut sebagai perihal transisi menuju cita-cita demokrasi yang sebenar-benarnya, maka sangatlah terlalu berlebihan.
Lihatlah carut marut demokrasi Indonesia, dimanakah orang muda berada, dimana suara mahasiswa yang membahana siap mengadili Soeharto(…boro-boro mengadili, dia meninggalkan gading politik bagi pewaris-pewarisnya).
Mereka semua tidak lari, mereka ada. Tapi mereka kalah dalam menggapai dan mengelola amanat besar demokrasi itu. Mereka tidak kalah mungkin, melainkan mereka ditipu oleh orang-orang tuanya. Ataukah mereka bukan ditipu, melainkan mereka tidak mampu bersaing dengan orang-orang tua? Ah.., seribu alasan bisa kita berikan. Yang pasti, orang-orang tua rasanya belum rela meninggalkan warisan itu bagi kita, orang-orang muda, pelopor kebangkitan bangsa 100 tahun lalu, pelurus kesesatan arah setir kekuasaan Negara ini. Dan, pemilik masa depan yang energinya di singsingkan bagi masa dan cita-cita demokrasi itu terwuijud di Indonesia.

Kedua, Yang muda yang berprestasi diberi peluang sebesar-besarnya berpartisipasi dalam demokrasi.
Yang muda yang berprestasi di Indonesia dimanakah berada?, sudikah diberi tempat untuk mengekspresi cita-citanya dalam partisipasi demokrasi, sembari yang tua tidak meng-underestimate kemampuan orang muda memanej kekuasaan di Negara ini.

Masihkah tetap muka-muka lama seperti Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Yusuf Kalla, Akbar Tandjung, Wiranto yang akan terlihat dalam percaturan politik dalam pesta Pemilu tahun 2007?, Ataukah mereka rela memberi angin segar bagi orang-orang muda seperti Drajat Wibowo, Zulkiflimansyah, Rama Pratama, Budiman Soedjatmiko, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar , Yuddy Chrisnandi dan lain-lain untuk berpartisipasi lebih banyak dalam mainstream politik Indonesia mutakhir.

Mari kita berkaca dengan kegagalan satu dasawarsa terakhir, bahwa emban generasi tua dalam kelola kuasa tidak dapat membuat kebangsaan ini sesuai dengan cita-cita reformasi. Berkaca pada politik, berkaca pada ekonomi, hukum , kebudayaan dsb. Untuk selanjutnya dengan legowo, memberi estafet perubahan untuk mengarahkan pembangunan ini pada generasi baru, generasi internet, generasi abad tekhnologi informasi. Berikan kepercayaan itu.
Apakah para orang tua siap melakukan itu. Diluar sana, banyak yang percaya sama orang muda, banyak yang sudah memberi estafet pada generasi baru ini. Di Indonesia………

Ketiga, Sistem demokrasi yang menghormati kemajemukan atau pluralitas lah yang dapat menerima siapapun, tanpa memandang latar belakang agama, etnis yang bersangkutan.

Obama hadir dalam suasana system masyarakat seperti ini. Kalau saja, Obama hidup dalam masyarakat rasis dan anti asing, anti imigran, mungkin Obama tak memiliki peluang secuilpun untuk mengekspresikan cita-cita politik di negeri tempat lahirnya ini.

Bagaimana dengan Indonesia, yang katanya Negara multi etnis, multi cultural dan multi agama?, Benar, kita memiliki konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang dirumuskan oleh “founding father” semenjak kemerdekaan negara ini. Anehnya, kekuatan-kekuatan konservatif radikal , dan fundamentalis agama, sering membayang-bayangi kehidupan plural di masyarakat kita.
Sudahlah, kalau itu sudah merupakan kejadian dalam tenor kekuasaan Soeharto dan Soekarno 50 tahun lamanya hingga 1998. Tetapi, justeru memulai momen reformasi ini, kita di suguhkan tragedi-tragedi berdarah perang etnis dan agama, yang lagi-lagi dipelopori oleh kelompok konservatif radikal dan fundamentalis agama ini. Bahkan, pada saat kita memperingati Hari Saktinya Pancasila (01 Juni 2008) kemarin sekalipun, masih tersuguh tragedi-tragedi yang memilukan.
Tak usah pula misalnya kita mau memaparkan gerakan terorisme ala Indonesia yang berkali-kali terjadi beberapa tahun yang lalu.
Trus, apa yang menyuburkan hal ini, dan sejauh mana system sosial politik plural yang kita punya, relevansinya bagi masyarakat majemuk di Indonesia. Rasanya kita perlu berpikir panjang!

Keempat, Generasi Tekhnologi memenangkan persaingan.

Sudah sangat kita ketahui bahwa, keberhasilan Obama, dari pengumpulan ongkos Pemilu sampai dengan melakukan kampanye, dilakukan dengan internet. Team suksesnya mengandalkan jaringan maya untuk melakukan pengumpulan bantuan kampanye via jaringan maya. Bandingkan dengan orang kaya Hillary dan Mc Cain, yang kedodoran mencari biaya kampanye karena masih melakukan cara-cara konservatif. Hillary, sampai harus mengeluarkan uang pribadinya.
Orang muda Indonesia, yang mengandalkan tekhnologi bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh Obama ini, bahwa politikpun bisa dengan mengandalkan jaringan maya, sekalipun itu menyangkut pengumpulan anggaran.

Abad Tekhnologi Informasi, mestinya memberi lahan basah secara politik maupun ekonomi bagi orang muda, karena penikmat dalam jejaring maya ini adalah pasarnya orang muda. Demikian dengan Indonesia. Masalahnya, kita belum melihat kiat jejaring dilakukan secara serius. Nah, bila kita sadar ini adalah jalur cepat meng-agregat gerakan generasi baru dengan mencontohi apa yang dilakukan Obama, saya pikir menjadi catatan mode pergerakan baru di Indonesia.
Hal ini sudah banyak benihnya, tinggal mengagregatnya dan mengefektifkan secara politik dan ekonomi di masyarakat.

Nah lho. Ini pelajaran bagi orang muda Indonesia, tinggal terserah memulainya.

Senin, 02 Juni 2008

ORGANISASI PARA BAJINGAN...?

Penyerangan oleh massa Front Pembebasan Islam terhadap massa Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas 01 Juni 2008 kemaren meninggalkan kecemasan yang parah dikalangan tokoh, pimpinan dan organisasi Islam. Bagaimana tidak, watak dan karakter massa tersebut lebih mengesankan sebagai para bajingan daripada organisasi dan massa yang benar-benar membela Islam...., saya sampai dibuat bingung lho, apa yang di bela dari Islam, dan apa yang diperjuangkan, kalo misalnya pada akhirnya yang dipake mereka adalah tindakan dan karakter anarki!!!. Tak kurang 70 orang dari massa AKBB menjadi korban penganiayaan dari massa FPI.

Negara kita bukan negara agama, tidak lantas membuat saya atau para aktivis semacam AKBB tidak mau membela Islam, dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Toh, alasan yang disampaikan oleh aktivis FPI, Munarman, Habib riziq dll karena AKBB membela Ahmadiyah, bukan alasan yang tepat dengan meresponinya dengan cara yang yang biadab...

Sewaktu melihat dialog antara salah satu korban penganiayaan massa FPI, KH Makmun(salah satu pimpinan Pondok pesantren dan aktivis NU) dengan Habib Ridziq di TV One tadi malam, nampak si Habib menunjukkan karakter seorang bajingan daripada seorang ulama.., bahkan dengan cukup berani menantang pemerintah segala, bilamana ada pihak pemerintah atau polisi yang mau menangkap para tersangka di FPI.

Betul kata Gus Dur, pemerintah sudah harus berani(jangan takut), demi menegakkan hukum harus di tinjau kembali organisasi-organisasi semacam ini. Dan tidak lagi permisif dengan mereka yang jelas-jelas berkarakter bajingan sejak awal.

Ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan mengingat kejadian yang terjadi di Monas 01 Juni 2008 kemaren.
Pertama, Kebebasan berpendapat dan berkeyakinan di Indonesia mesti menjadi payung hukum yang betul-betul implementatif. Pemerintah mesti berperan betul-betul sebagai protektor bagi semua aktivis yang menjalankan ini. Ini harus ditegaskan pemerintah, tentu apabila ada karakter-karakter massa yang menyimpang dari hal ini harus diresponi secara hukum dan kebijaksanaan.
Kedua, ruang publik bagi kehidupan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan harus di lindungi secara baik dan bijaksana , minimal dari aparat kenegaraan dimanapun mereka berada atau mereka berekspresi( sekalipun misalnya massa AKBB hanya memberitahukan aksinya di Monas 2008 dan tidak diizinkan), toh kenyataannya massa tetap berada di sana, dan para polisi tidak berada.
Ketiga, pemerintah harus tegakkan acuan nilai-nilai dan aturan tentang organisasi massa yang sesuai dengan Pancasila sebagai Ideologi negara yang kita anut.
Empat, Segala bentuk penyimpangan dari asas dan Ideologi negara harus tegakkan secara hukum dan peraturan perundang-undangn yang berlaku, tidak hanya menjadi catatan-catatan intelijen semata.
Lima, Keberpihakan demokrasi harus betul-betul menjadi agenda pemerintah sehingga, massa yang menyimpang dari nilai-nilai demokrasi dapat ditegakkan secara hukum , sedini mungkin. Dilain sisi, menjadi penopang, pelindung pengayom massa dan bangsa Indonesia yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.

Supaya kita lebih beradab, atas nama agama, bangsa dan negara secepatnya pemerintah mengambil langkah-langkah tepat tentang kejadian kemaren, sebab kejadian ini bukan sekedar kejadian kriminal biasa, melainkan memiliki dampak sosial politik dan agama yang menyesatkan. Wallah a'lam.