Kamis, 26 Juli 2007

LEE KUAN YEU DAN INDONESIA

Hampir seperti Soeharto, mantan penguasa Singapura tersebut berkuasa sekitar tiga puluhan tahun di negeri tersebut. Tentu persentuhan politik regional dengan Indonesia banyak terjadi di era kepemimpinan beliau. Yang membedakan, beliau berhasil membawa kesuksesan bagi Singapura, hingga beliau lengser masih bisa menjadi menteri senior atau mentor bagi menteri-menteri yang ada di pemerintahan Singapura. Sedangkan Soeharto, lengser dipaksa dgn keadaan ekonomi politik sosial yg keropos dan menimbulkan reformasi besar-besaran di era kepemimpinannya.
Lee kuan Yeu menjadi teladan bagi kepemimpinan Singapura, sedangkan Soeharto menjadi bulan-bulanan bagi pegiat demokrasi di Indonesia.

Kedatangan Lee ke Indonesia, hendaknya tidak di tengarai sebagai lobby informal Singapura sehubungan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) dan Ekstradisi Indonesia dengan Singapura., demikian dikatakan oleh mantan Menlu Ali Alatas beberapa waktu lalu. Sekalipun demikian, Lee pasti punya efek politik bagi kebijakan pemerintahan di Indonesia, mesti beliau tidak punya alasan mencampuri permasalahan internal pemerintahan Indonesia. Sinyalemen tersebut telah juga disampaikan kemarin saat berbicara dihadapan Wapres Yusuf Kalla, yang juga sempat mengujinya.

Tetapi beberapa catatan penting kedatangannya ke Indonesia (yang menurut Kalla regular dilakukan) sbb :
Pertama, Lee, sebagai bagian dari pemerintahan Singapura adalah menteri senior/mentor pasti memiliki kepentingan politik (mesti diingkar tidak melakukan lobby informal) terhadap Indonesia. Yang pasti, dengan hitung-hitungan untung ruginya DCA yang ditanda tangani pemerintah, beberapa waktu lalu oleh DPR maupun para pakar menyampaikan bahwa lebih menguntungkan pihak Singapura dibandingkan Indonesia.

Hadirnya lee, paling tidak, mau menggunakan pamornya yg masih ada di Indonesia demi keberhasilan DCA itu dijalankan, karena kehadiran Lee, pasti menjadi penanda bahwa kepentingan DCA tidak melulu militer regional bahkan lebih dari pada itu.

Kedua, Mampatnya hubungan pemerintahan SBY dengan DPR akibat DCA tersebut membutuhkan ketegasan sikap Singapura di tingkat lobby Informal, itu di perankan oleh Lee.

Dengannya bisa dibaca, bahwa Singapura sangat berkepentingan atas berjalannya DCA tersebut dgn hitung-hitungan keuntungan DCA bagi Singapura lebih dari pada Indonesia, dimana daya tawar bagi ruang dan infrastruktur yang dapat digunakan secara bersama hingga 20 tahun nanti dimilki Indonesia, atau berharap kembalinya uang hasil korup dari perjanjian Ekstradisi sangatlah minim terjadi , dibandingkan Singapura yang menguasai raja-raja telekomunikasi di Indonesia, pasti mampu memahami potensi ekonomi Riau yang kaya, bahkan Indonesia, dan tentu saja dapat mendukung beberapa kebijakan pemerintahannya, misalnya kebutuhan perluasan pulau dgn kedok pelatihan militer di wilayah pengembangannya. Belum lagi, bilamana efek ekonomi dan sosial masyarakat setempat . Bisa kah, pemerintahan kita memikirkan kembali masak-masak perjanjian kerja sama tersebut, tanpa terpengaruhi oleh move-move politik luar negeri Singapura lewat Lee, misalnya. Wallahu a’lam.

Selasa, 24 Juli 2007

PASCA ANTHONY...., LALU APA???



Sejenak kita renungkan apa yang telah diberikan beberapa minggu yang lalu, di akhir mei 2007, kita di training, di charging aspek emosi kita secara intelek… Pada pokoknya kita di latih memenej emosi secara intelek demi keberhasilan leadership ideal yang efektif bagi perusahaan. Saya kira mungkin itu target perusahaan, yg repot-repot membiayai pelatihan leadership di hotel megah selama tiga hari.
Selanjutnya apa yang mesti kita petik???.. pasti pelajaran… tetapi apa pelajaran itu hanya sampe kita hafalin, trus di simpan di loker kita atau sejenak kita terlupa . Ibarat baterai handphone, abis charger tinggal tunggu berapa hari lagi pasti baterainya abis….

Ataukah, dia bisa berbekas, laksana tapak kaki Imam Bonjol yang sering sholat di salah satu batu di lereng sungai Pineleng dekat kuburannya, yang hingga kini masih berbekas.

Karena, pasti dari HR Excellent “connecting” ke divisi SDM HO, akan tetap memonitoring peserta training ke depan pasca di training, sehingga mereka bisa mengevaluasi, mendata keberhasilan-keberhasilan atau ketidakberhasilan-ketidakberhasilan dari training yang mereka lakukan. Tetapi itukan kerjaan pihak manajemen SDM dan trainer. Trus untuk kita, pasca Anthony, apa yang harus berlaku dalam kiat kerja kita, bahkan dalam hidup kita : prestasi, pergaulan, intelektualitas, kesuksesan, karier dan sebagainya.

Beberapa catatan pasca Anthony, menurut saya sbb :
1. Pada pokoknya nilai-nilai yang disampaikan di pelatihan HR Excellent tersebut adalah nilai-nilai utama yang kita semua sudah sangat tahu, cuman kemampuan mereka mereview, refresh kembali nilai-nilai tersebut sehingga kita tersadar menggunakan nilai-nilai utama tersebut pada posisi dan porsi yang termanej dgn target yang jelas dan intelek.
2. Kemampuan merepresentasi dan membawa mentality tiap peserta trainer bagi kesadaran kiat kerja keseharian di kantor serta kemampuan memenej komunikasi emosi yang cerdas bagi pergaulan dan pelayanan sebagaimana kita sebagai aparat di kantor dan kita sebagai leader.
3. Ketololan kita dlm mengelola emosi tersadar, sehingga di latih memenej emosi secara intelek.
4. Pelatihan tersebut mesti membekas bilamana di pateri pada pola kerja dan kiat kerja kita yang pada intinya “kemampuan mengelola emosi secara cerdas” bahsanya Anthony : “be emotionally intelegency”.
5. Teori, semangat dan spirit pelatihan dapat terlaksana dalam keseharian perilaku hidup kita, apapun itu.

Nampaknya, keberhasilan training Anthony, memang sangat ditentukan pada pribadi-pribadi kita yg komit dan consistent untuk merevolusi paradigma dasar prinsip dan nilai hidup kita, merehabilitasi style perilaku kehidupan kita dari yg buruk menjadi baik dan produktif, dan merekonstruksi kembali nilai-nilai baik yang produktif dan efektif bagi pribadi, kerja, karier dan orang banyak. Mungkin inilah sedikit yang perlu kita ambil pasca di latih Anthony….. viva HR Excellent…. (So, setelah Anthony, bisakah kita berubah!)

Jumat, 13 Juli 2007

REFLEKSI SYARIKAT YANG LURUH

By. Rahmat Adam
(pemerhati Syarikat Islam)

Kesenyapan politik Syarikat (SI) dalam kegenitan politik pada umumnya, menyulut semangat kesejarahan yg bisa dipastikan lebih romantis ketimbang ideologis. Romantisme politik SI, lebih kepada pengingatan sejarah seiring kehilangan momentum bagi ruang dan karakter kekinian politik bangsa ketimbang hasil ideologisasi yang sinambung dan berkelanjutan bagi sejarah perjuangan yang awalnya berkomitmen pada tendensi ekonomi kebangsaan dan keummatan serta perjuangan politik.

Memang, sejarah INDONESIA mestinya adalah sejarah SYARIKAT ISLAM. Entah dia harus berwujud organisasi kemasyarakan atau memutar kendali ke ranah politik praktis bahkan hingga metamorfosanya ke semua lini politik dan ormas kebangsaan dan keummatan . Kesimpulan Ideologisnya pasti berakhir pada peranan Syarikat Islam sebagai cikal bakal penentu kendali perjuangan, bersamaan dengan dinamika perjuangan politik kebangsaan dan keummatannya. Hanya saja kenapa harus luruh?

Cita-cita Haji Oemar Said Tjokroaminoto seakan tak diambil pusing oleh pegiat politik dan pegiat ideologis Indonesia kini. Kalaupun ada , hadirnya Syarikat Islam, lebih pada ranah perebutan sisa-sisa kue politik setelah dilumat oleh kakap-kakap politik. Lebihnya, hanyalah sekedar pengingatan dan seremonial akan ormas besar di awal abad beserta sekian pegiat-pegiat tua dan masyarakat muda yang buta atas ideology yang mesti diperjuangkannya itu.

Kemanakah Pergi
Rimba politik dan sosial kekinian, memaparkan wajah politik dan sosial Indonesia seakan habis dilumat oleh semua elemen politik hasil metamorfosanya. Realitas ke SI-an tinggallah sejarah atau benih-benih sejarah yang biasanya tertulis atau mungkin tidak tertulis dalam hampir semua organisasi massa atau politik besar Indonesia. Bahkan dalam kurun setengah abad terakhir Syarikat Islam tidak menelurkan kader handal dan Ideologis sebagai pejuang mumpuni laiknya tokoh-tokoh NU atau MUHAMMADIYAH. Seakan kader yang lahir dari rahim ormas ini lebih mewujud pada broker politik daripada pegiat ideologis atau yang benar-benar berjuang demi visi, misi dan trilogi perjuangannya. Relatif, SI tidak menelorkan satu kaderpun. Kalaupun klaim itu ada, pasti hanya berurusan dengan zigzag politik atau temurun moyang sepuh Syarikat. Maka tidak heran paradigma ke SI-an tidak mewujud dalam karakter andal kader-kader yang katanya bermetamorfosis ke ranah ormas dan lembaga-lembaga politik lainnya. Kenyataannya, Syarikat Islam tinggal nama beserta romantika pergunjingan sejarah, lewat lembaga atau organisasi Syarikat Islam sebagai tempat untuk memenuhi dahaga romantika SI, baik oleh pegiat-pegiat tua atau temurun moyang sepuhnya.

Beberapa Langkah
Syarikat Islam sebagai elemen penting dalam kepolitikan, keummatan dan kebangsaan Indonesia dengan melihat kondisi kronisnya ini, mestinya harus khittah total untuk kembali pada semangat dasar dan misi perjuangannya. Itu hal pertama yang perlu dilakukan, Khittah total dimaksud berurusan dengan paradigma dan kultur.
Trilogi yang dikenal dengan setinggi-tinggi tauhid, secerdik-cerdik siasat dan semahir-mahirnya Ilmu tidak lagi cuman beurusan dgn tata retorika dalam pidato-pidato keorganisasian, tetapi mestinya menjadi perumusan Intelektual yang cerdas sehingga terbantu pada keadaan kultur yang mumpuni bagi aktivitas ke SI-an.
Kedua, Syarikat Islam sebagai organisasi masyarakat yang kampiun dalam sejarahnya, harus empatik dengan situasi dan kondisi kemasyarakatan. Sebagaimana kita semua tahu, kader-kader SI yang biasanya menjalar di pasar-pasar kecil, mestinya lebih mengarah ke respons kemasyarakatan yang lebih cerdas, terstruktur dan empatik bagi pemenuhan perjuangan masyarakat, khususnya bagi konsolidasi sektor informal.
Isu-isu ekonomi dan kerakyatan mesti diambil alih oleh organisasi bagi penciptaan solusi dan penggerak roda sektor UKM dan masyarakat Muslim pinggiran, dan kalau perlu harus mereposisi bagi perannya ke semua sektor informal ekonomi masyarakatt kecil, menengah ke bawah lainnya (nelayan, tani dsb ). Jujur kita akui, bahwa Syarikat Islam relatif tidak berdaya sama sekali dalam lakon dan solusi di lini ini.
Ketiga, Peran politik sebagai representasi semahir-mahir siasat ( Amien Rais menyebutnya “ High Politic”)bagi pengabdian sepenuhnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat khususnya masyarakat Muslim. Konon, kesan kepintaran kader-kader SI dalam zigzag kepolitikan dalam rimba politik Indonesia lebih mewujud sebagai broker politik daripada “pandhita” politik. Lebih keliatan “rubah” daripada “orang arif”. Tentu dengan target organisasi dan etis pribadi bagi pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, keummatan dan kebangsaan Indonesia.

Bagi saya tiga hal diatas cukup berat memang kita lakukan, berhubung kondisi kekinian Syarikat Islam yang memilukan, yang pasti kalau tidak mau hanya dikenang sejarah, tiga hal itu lah yang perlu kita lakukan dengan konsisten dan tendensi penuh bagi pemenuhan materiil kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, ummat dan bangsa, dilandasi pemenuhan spiritual bagi setinggi-tingginya Tauhid yakni pengabdian tulus Lillah Ta’ala (hanya karena Allah SWT) semata(QS: Ar-ra’du : 11).

Inilah catatan kecil bagi pemenuhan peran yang lebih signifikan SI ke depan, hingga luruhnya Syarikat bisa berarti masa berbenah yang tidak lengah dan lunglai, tetapi justeru perapatan barisan kultural bagi pemenuhan capaian trilogy misi Syarikat, hingga akhirnya tujuan yang kita inginkan bagi keummatan dan kebangsaan Indonesia dapat tercapai. (Viva Adhan dkk bagi tugas yang berat ini )
Wallahu fie sabilil Haq

KESEDERHANAAN MEMAHAMI MANAJEMEN


Kejenuhan dengan beban target yang tak kunjung terealisasi sebagaimana diharapkan, mestinya direspons dengan relaksasi manajemen pemasaran ..dengan konsentrasi utama pada pendapatan.

Bagaimanapun metode yang akan dipakai, apapun penjelasan ttg “marketing”. Kalau semuanya diarahkan dan ditekankan pada semangat kejar setoran (beban target) maka yang terjadi adalah ketergesa-gesaan dan kinerja orang-orang setress….

Mestiya, kesemuanya direlaksasi dalam dan konteks kesahajaan atau kesederhanaan, sehingga perilaku manajemen pemasaran akan terarah ke kondisi yang menyenangkan.

Paling tidak, menurut saya ada beberapa hal sederhana yang mesti kita jadikan panduan dalam memenej “marketing’ keagenan demi tertunjangnya sasaran dan target perusahaan, khususnya Gorontalo BO. Sbb:
1). Dalam menentuan business plan agency, lebih diarahkan kepada konsentrasi rencana pendapatan daripada kalkulasi target, yang selebihnya hanya menjadi momok beban yang menakutkan (selalu) bagi aparat pemasaran.
2). Kesederhanaan metode pemasaran hingga pada unit produksi masing-masing. Realisasi metode pemasaran yg sederhana ini, hanya berlaku untuk element-element sederhana sbb : planning, organizing, actuating dan controlling. Atau kalau secara sederhana kita menyimak Pola Keagenan, adalah P3T, disamping memastikan masing-masing aparat mngetahui target masing-masingnya. Itu saja, yang perlu di benahi.
3). Refresh dengan motif-motif dan semangat yang didasarkan atas dalil-dalil keagamaan, sehingga aparat pemasaran lebih termotivasi. Sentuhan dengan spirit atau semangat religius banyak membuktikan keseriusan dan semangat kerja aparat.

Demikian, beberapa refresh pemikiran. Untuk selajutnya tergantung kita semua dalam meniti manajemen pemasaran yang semakin baik. Pepatah Jepang : Visi tanpa tindakan nyata adalah mimpi di siang bolong, Tindakan tanpa visi adalah malapetaka. Mari kita simak baik-baik pepatah tersebut. Terima kasih.
(maaf postingnya telat, gambarnya pas di makassar ma teman2)

Gtlo, 20 Pebruari 2007