Jumat, 17 Agustus 2007

MERDEKA.....?


Tulisan Budiman Sudjatmiko dalam Kompas tanggal 15 Agustus 2007 lalu, membuktikan sebuah jarak antara cita-cita dan implementasi dari proklamasi dan deklarasi Indonesia. Ada sebuah kekeliruan ideologis dalam pencanangan dan minim dari pelaksanaan demi cita-cita yang tertuang di dalamnya. Lepas dari pada itu, sebetulnya kita ingin mempertanyakan makna kemerdekaan dalam rentang 62 tahun di bawah banyak rezim dan banyak sistem yang dilaksanakan . Toh, para implementatornya melaksanakan secara berbeda-beda dengan derajat keberhasilan yang berbeda-beda pula.Tidak salah, kalau misalnya Jurgen Habermas, mengatakan bahwa Negara-negara semata-mata adalah kreasi-kreasi dari pemerintahnya.

Di masa Soekarno, rentang kemerdekaan diisi dengan berapa kali perubahan setir kekuasaan, dengan tanpa merubah suatu apapun dari kesepakatan ideologis dan deklarasi Indonesia. Mengherankan, jika perubahan setir kekuasaan itu dilakukan dengan dua dominasi sistem kekuasaan. Yang pertama, yang benar-benar demokratis, dan yang kedua yang benar-benar otokratik. (Disini kita belum mendiskusikan rentang tiga kali perubahan implementasi pelaksanaan pemerintahan ).
Sekalipun, misalnya setir kekuasaan tersebut dilakukan dalam rangka distribusi partisipasi ideologis kebanyakan dan atau yang dianutnya, antisipasi kembalinya koloni Hindia Belanda, serta kepura-puraan demokrasi . Hingga ada “akhir” yang elegan bagi Soekarno, dengan tanpa kejelasan penyambung kekuasaan berikutnya di bawah Soeharto.

Yang pasti dalam pemilu berikut setelah jatuhnya Soekarno, Soeharto tampil memegang kendali republik hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Dimasa Soeharto, rumusan pembangunannya, menutup semua mata kekeliruan dan daya kritisisme, yang mestinya ada dalam mengawal pembangunan yang dilakukannya. Semua lini di keroyok dalam rancang rezim kekuasaan Soeharto. Eksesnya, hanya meninggalkan belulang-belulang sejarah, yang tak punya ruang untuk di tegakkan hukum secara adil, entah ekonomi, politik, keamanan, kebudayaan dan lain sebagainya. Semuanya menjadi soal dan masalah sepeninggal beliau dari kursi kekuasaan tersebut.

Reformasi Yang Belum Selesai
Tibalah kita di masa reformasi, masa yang penuh dengan cita-cita membangun kembali carut marut kebangsaan kita. Merapatkan barisan, membangun kesejahteraan, menegakkan keadilan, hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. Tetapi apa yang terjadi dengan sepuluh tahun di bawah masa yang penuh cita-cita ini?
Ada alasan menarik dari kalangan akademisi, bahwa Indonesia laksana Amerika Latin atau beberapa negara lain yang mengalami “transisi demokratik” dengan pendasaran-pendasaran teoritik mutakhir pada saat itu, Guillermo O’Donnel, Huntington, dan lain sebagainya.

Kenyataannya, ada ketertatihan yang belum selesai, keenakan transisional, atau malah merupakan “ democracy”, atau bahkan pembalikan demokrasi(ini mungkin jauh dari harapan semua orang). Bahwa, kekeroposan yang telah terbangun oleh rezim Soeharto tak pernah selesai diperbaiki dan di charge kembali pembangunannya oleh semua penyetir kekuasaan di era ini. (Habibie, Gus Dur, Mega maupun SBY).

Krisis ekonomi, politik, keamanan, moral dan kebudayaan masih menjadi momok yang menakutkan hingga hari ini.

Pertumbuhan ekonominya, belum menyamai atau di atas pertumbuhan di zaman rezim Orde Baru. Apalagi kita menganut ekonomi pasar bebas, sehingga penentu bagi sumber devisa dan transaksi pasar ekonomi nasional sangat ditentukan oleh pihak eksternal, multinasional atau asing. Bahkan, dokter ekonomi Indonesia (IMF dan Bank Dunia) yang menginjeksi kebijakan ekonomi kita setelah krisis tahun 1997, tak pernah bisa kita katakan “gagal” meskipun hingga 10 tahunan sekarang ini. Padahal pemegang Nobel Ekonomi sekaliber Stiglitz pun mensinyalir kegagalan mereka, dan mereka mengiyakannya.

Kedatangan Mohammad Yunus (pemegang Nobel ekonomi tahun 2006 dari Bangladesh)ke Indonesia kemarin, saya berdoa, agar dapat menjadi teladan yang sangat baik bagi Indonesia dalam usaha-usaha kita membangun ekonomi yang mandiri.

Berbicara Stiglitz, beliau (dan banyak pakar) memberi contoh negara-negara Timur jauh atau yang berada di Asia Tenggara, yang tidak melulu mengikuti 100 % injeksi kebijakan IMF yang neoliberal, bagi keberhasilan ekonominya. Ada baiknya kita mencontohi China , India bahkan negara yang paling dekat dengan kita Vietnam, yang pertumbuhan ekonomi nya sangat melesat dengan rata-rata di atas 8 % per tahun.

Secara politik, kita dihadapkan pada kekeroposan persatuan bangsa, ultra parlementarisme, semi federalistik.dan fundamentalisme.

Kekeroposan persatuan kebangsaan kita, pertama kali dibuktikan dengan hengkangnya Timor Timur dari bumi pertiwi, berikut gerakan-gerakan separatis yang banyak menjamur.
Masalah pembangunan yang tak adil dalam zaman rezim Orde Baru menjadi momok yang membahayakan di masa reformasi sekarang ini. Lihatlah Aceh, meski telah berhasil di upayakan perdamaiannya di Helsinski, belum menjadi jaminan bahwa Aceh tetap aman. Bahkan, menjelang kemerdekaan Indonesia kemaren, tanah Aceh dihebohkan dengan usaha-usaha melecehkan simbol kebangsaan kita (penurunan bendera dan pembakaran merah putih di Aceh Utara).
Menoleh ke timur, sewaktu presiden SBY meresmikan pembukaan Harganas di Maluku, tiba-tiba saja sekumpulan penari tradisional dengan membawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS) menerobos protokoler acaranya.
Di papua, gerakan semacam itu pasti masih berlangsung , dan mungkin juga di daerah-daerah lainnya.

Ultra Parlementarisme,
Dengan pelaksanaan demokrasi yang liberal di Indonesia membawa dampak konsentrasi kekuasaan di tubuh parlemen, tanpa memperkuat lembaga eksekutif di bawah presiden dalam rangka melaksanakan pembangunan. Terbukti dalam 10 tahun masa reformasi kita memiliki empat orang presiden, dengan pergantian empat kali kabinet, bahkan empat kali perubahan UUD 1945.
Tentu, dengan eksekutif yang tak kuat, kemampuan melaksanakan pembangunan sebagaimana yang kita cita-citakan tak pernah akan selesai, gejala ini juga terjadi di banyak daerah di seluruh Indonesia.
Dengan berjalannya demokrasi yang ideal di Indonesia, kita patut bersyukur. Tetapi di dalam membangun Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945(deklarasi kita), tampaknya kita perlu memikirkan sebaik-baiknya penguatan yang seimbang antara domain-domain kekuasaan demokrasi yang ada tersebut, Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, hingga tengarai Huntington tentang paradoks demokrasi dan pembangunan ekonomi tak terjadi di Indonesia.

Semi federalistik,
Semangat federalistik dalam Undang-undang tentang pemerintahaan di daerah setelah reformasi mengakibatkan munculnya pemekaran-pemekaran kewilayahan, dari RT/RW, Desa. Kelurahan hingga Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya dan Propinsi. Apapun kita mengistilahkan hal ini dalam perundang-undangan, semangatnya adalah federalistik.
Hal ini, pasti sangat mendukung gejala kekeroposan kesatuan di Indonesia, bila mana di lihat dari sudut pandang negative, tetapi secara positif, sangat mendukung bagi kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Tetapi apa yang terjadi dengan berlangungnya otonomi ini (apapun istilah kita memakainya). Dengan tanpa melihat ide otonomisasi dalam kerangka pelaksanaan Undang-undang pemerintahan di daerah, secara simplistis penulis bisa menyimpulkan bahwa otonomisasi justeru menjadi pintu birokratisasi, koruptisasi, kolutisasi, nepotisasi , politisasi, kroniisasi bahkan lebih radikal lagi : separatisasi. Keenganan kita melihat dari sisi lain dari penyelenggaraan otonomisasi ini menjadi bumerang bagi kita sendiri.

Pasti, berejejaran kasus yang akan kita dapati kalau kita perinci satu-persatu gejala simplistis yang penulis simpulkan di atas tadi.

Fundamentalisme agama
Berlangsungnya demokrasi di manapun, pasti memberi tempat bagi lahirnya fundamentalisme agama. Ini sudah menjadi sejarah panjang dari eropa dan Amerika. Fundamentalisme agama di Indonesia tidak saja sudah menjadi semacam pamong prajanya nilai-nilai syar’i yang di emban dan diperjuangkan (fenomena FPI, Hizbut tahrir dan lain sebagainya), tetapi sudah menjadi jejaring gerakan radikal global dan teroristik (terorisme di Indonesia: Bom bali, kasus Ambon, Poso dan sebagainya).
Tentu, dalam kacamata Demokrasi Indonesia, hal ini tidak perlu di beri tempat bagi diskursus dan posisi dalam politik Indonesia, tetapi dalam menanganinya kita tetap harus berdasarkan nilai-nilai yang kita anut sembari memberi dayang dukung yang ekspansif bagi gerakan-gerakan keagamaan moderat .


Dari sisi sosial kebudayaan, masih banyak masalah yang perlu kita kembali tata. Kemiskinan, Pengangguran, Amoralitas para pejabat, HIV dan sebagainya.


Nah, dengan gambaran yang kita dapatkan tersebut, apakah makna kemerdekaan yang harus kita pateri? Tak lain, tak bukan kita harus mereview kembali semangat zaman dan konstusi kita serta beristiqamah pada nilai-nilai tersebut.

Secara radikal kita harus memangkas penyimpangan penyelenggaraan pembangunan yang tak berdasar pada deklarasi yang kita anut beserta ekses-eksesnya.
Kemandirian ekonomi harus tetap terjaga tanpa membebek kepada dokter Neoliberalis beserta jarring-jaringnya.
Demokrasi Indonesia yang tidak liar bagi tumpang tindih kekuasaan masing-masing domain kekuasaan dengan tentu, tidak menjadikan sebagai pintu “mumpuni” bagi kiat-kita menyimpang penyelenggaraan kenegaraan.
Patriotisme mesti tetapbertumbuh di sekeliling penyelenggara-penyelenggara kekuasaan, dengan serta merta menjadi penyekat kesatuan dan persatuan Republik Indonesia.
Dan, agama di jadikan sumber nilai penyokong bagi hidupnya kemajemukan yang religius sehingga masyarakat sejahtera, demokratis, aman, nyaman dan makmur.

Merdeka….!

Senin, 06 Agustus 2007

BUSYET! POLITIK FITNAH ALA INDONESIA….


Busyet… gak kepikir kalo ini adalah kartu As nya Zainal Maarif ketika meresponi Keputusan Presiden menyangkut perecall -an dirinya oleh PBR dari kursi Wakil Ketua DPR RI. Apa itu!, masalah sudah kawinnya Soesilo Bambang Yudoyono semenjak sebelum menjadi siswa di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. So pasti, semua kebakaran jenggot, yang pertama pasti di pihak SBY, yang langsung saja meresponinya dengan melaporkan ke Kepolisian bahwa apa yang di kemukakan saudara Zainal adalah fitnah belaka, tentu ada proses hukum setelah itu. Berikut, oleh orang sekeliling beliau, dari Kepala Staf Angkatan Darat yang merasa terusik hingga Andi Malaranggeng, si juru tangkis presiden, yang membantah habis-habisan Zainal dalam acara diskusi di Metro TV beberapa waktu lalu.
Di pihak Zainal sendiri, tetap memperjuangkan borok SBY tersebut dengan sekian bukti yang dimilikinya, dan dilaporkan ke MPR-RI, KPK hingga ke kepolisian..

Saya gak habis pikir, beginikah pamor politik kalangan yang menyatakan diri sebagai orang-orang negarawan, politisi-politisi kaliber yang memprioritaskan moralitas politik di Indonesia. Sinyal apa gerangan yg di dramatisasikan oleh Jakarta? (kalau boleh membanggakan, saya lebih bangga sama George Soros, seorang Negarawan yang tak ber Negara , begitu puji seorang mantan presiden Ukraina kepada beliau, yang di vonis Mahathir sebagai penyebab krisis moneter di Asia 10 tahun lalu)

Ataukah hal tersebut adalah lumrah dalam politik, apalagi misalnya bila kita mereferensikan dengan prinsip-prinsip politiknya Machiavelli. (“ The end Justified the means"). Bisa jadi, sebab bagi kalangan agamawan yang paling ideolog sekalipun sering mengidealkan karakter berpolitik Nicolo. Contoh kecil, seorang rentenir di kampung paling udik hingga yang paling modern bisa naik haji dan pulang menjadi orang paling mulia dan disegani di daerahnya. Dan di Indonesia pasti banyak haji-haji seperti itu.

Apa sebenarnya yang terjadi
Padahal, ajaran dan nilai-nilai yang kita tahu dan anut, mungkin menyangkal perilaku semacam itu. Tak elok rasanya style politik yang dinampakkan. Kalau demikian apa sebenarnya yang terjadi?
Pertama, apakah sudah demikian rusak gaya politik nasional, sehingga menjadi gambaran umum politik kebangsaan kita di bumi pertiwi ini, dan bilamana kita menohok lebih jauh ke daerah, apakah gambaran yang “busyet” dan tidak bermoral dalam politik yang bisa kita dapatkan?, mulai dari soal selingkuhan, seks di kantoran hingga korupsi oleh bupati, camat hingga lurah, dan jangan lupa ini juga jadi gambaran umum dalam elit politik nasional kita.
kedua, Ataukah ini adalah transisi exercising politik demokrasi Indonesia, hingga melumer pada soal sikap, perilaku dan respons atas kebijakan-kebijakan yang dinyatakan, atau usulan, gagasan, ide, lobby, sikap, jaringan yang tak elok, emotif, terkesan memaksa, tak tahu malu atau malu-malu kucing, hingga beralasan misalnya politik di tingkat elit kita masih kelas “Kampungan”, belum elok, dan belum matang berada dalam ranah demokrasi sebagaimana menurut cita-cita dalam konstitusi republik kita.

Yang pasti, kita dihenyak oleh nilai-nilai utama yang kita anut, dari agama, moral bangsa dan kemanusiaan. Semuanya pasti berbicara bahwa kita tidak keruan dalam soal mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Mari kita renungkan.
Mungkinkah karena kekeroposan moral yang terjadi dalam perilaku dan sikap , misalnya “politik” kita tersebut menjadi hasutan bagi enggannya lingkungan dan alam terhadap kita?, Bahkan Tuhan terhadap kita.

Semua itu logis kok, bila kekeroposan nilai dan moral yang dianut semua manusia di Indonesia, yang nyata-nyatanya sebagai pengelola alam dan lingkungannya yang dilakukan secara membabi buta, tak bermoral, rakus, tidak CSR, korup, exploitator dsb. mendatangkan “bala” dan bencana. Meski, doa dipanjatkan setiap hari, zikir di ucapkan bahkan Pengampunan Masal dilakukan oleh semua organisasi setiap hari, bila manusia-manusia Toxid(racun) masih bertebaran di muka bumi Indonesia, maka kerusakan itu tetap nyata. Terkesan Tuhan meninggalkan kita.

Olehnya, Style politik Indonesia, mengaca pada konflik Zainal dgn SBY, sebetulnya menjadi sebentuk gambaran me-nasional politik dan peradaban kita di Indonesia serta menyimpan misteri yang masuk akal atas kerusakan moralitas bangsa, alam dan lingkungan hingga kengganan Tuhan memenuhi do’a kita.. Mungkinkah?

Tawaran sederhana
Tawaran saya yang paling sederhana menyikapi remeh temeh soal ke”busyet” an kepolitikan kita adalah :
Pertama, berbuat baik kepada sesama, dengan tidak pernah menganggap kitalah yang paling baik dalam lakon kebaikan hidup di muka bumi ini.
Kedua, Segala perbuatan kita, hendaknya di diabdikan pada kebaikan umat manusia Indonesia dan dunia , dengan tetap memadu pada pengetahuan, program dan sikap atas keseimbangan terhadap alam dan lingkungan. Dengan memperjuangan atas sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan lingkungan.
Ketiga, Menjadi teladan utama dan pertama atas “sapu bersih” kemungkaran di bumi Indonesia bahkan dunia, sampai ke akar-akarnya. Tentu dengan cara yang paling sederhana dalam perilaku keseharian dan terprogram atas relasi-relasi politik dan ekonomi yang kita lakukan, termasuk atas evaluasi semua kebijakan yang rada-rada mengarah kepada penitsbatan dan pemutakhiran kemungkaran, khususnya di bumi pertiwi.

Saran saya, bagi mereka berdua, hendaknya legowo dan menyelesaikan persoalannya dengan kultur kita, dengan memprioritaskan moral dan etika politik yang sama-sama kita anut. Marilah yang namanya Fitnah tidak menjadi komoditi politik dalam relasi-relasi konflik politik kita. Manajemen konflik dengan pengedepanan moral dan etika politik dari sisi kultur asia bahkan bilamana harus di tambah dengan nilai-nilai keagamaan yang kita anut, pasti bilamana kita yakin dan konsekuen, mendatangkan hasil yang baik, dan dapat menjadi sebuah langkah yang terkonstruksi bagi bangunan politik demokrasi Indonesia yang kita idamkan bersama.
Responsi dari sisi SBY sendiri, dan sekelilingnya tidak lagi reaktif atau ultra reaktif, tetapi dgn pengutamaan moralitas dan etika politik yang saya tawarkan di atas dapat menjamin kelangsungan bangunan politik Indobnesia yang kita cita-citakan bersama pula.

Akhirnya, untuk sebuah penyelesaian dan pembangunan nilai dan etika politik demokrasi yang kita idamkan bersama, dapat terbangun dengan sendirinya dari keyakinan, atas nilai, sikap dan perilaku serta hubungan-hubungan harmonis atas dasar nilai-nilai yang kita anut itu dengan konsekuen dan terprogram. Dari sisi struktur kekuasaan dapat menjadi lakon terprogam dan terencana serta terpengaruh bagi program pembangunan karakter dan perilaku sumber daya Indonesia dan warganya, sehingga dari sisi kultur, dapat menjadi modal dan asset yang sangat berharga bagi tujuan dan cita-cita demokrasi Indonesia yang kita idam-idamkan bersama.