Tulisan Budiman Sudjatmiko dalam Kompas tanggal 15 Agustus 2007 lalu, membuktikan sebuah jarak antara cita-cita dan implementasi dari proklamasi dan deklarasi Indonesia. Ada sebuah kekeliruan ideologis dalam pencanangan dan minim dari pelaksanaan demi cita-cita yang tertuang di dalamnya. Lepas dari pada itu, sebetulnya kita ingin mempertanyakan makna kemerdekaan dalam rentang 62 tahun di bawah banyak rezim dan banyak sistem yang dilaksanakan . Toh, para implementatornya melaksanakan secara berbeda-beda dengan derajat keberhasilan yang berbeda-beda pula.Tidak salah, kalau misalnya Jurgen Habermas, mengatakan bahwa Negara-negara semata-mata adalah kreasi-kreasi dari pemerintahnya.
Di masa Soekarno, rentang kemerdekaan diisi dengan berapa kali perubahan setir kekuasaan, dengan tanpa merubah suatu apapun dari kesepakatan ideologis dan deklarasi Indonesia. Mengherankan, jika perubahan setir kekuasaan itu dilakukan dengan dua dominasi sistem kekuasaan. Yang pertama, yang benar-benar demokratis, dan yang kedua yang benar-benar otokratik. (Disini kita belum mendiskusikan rentang tiga kali perubahan implementasi pelaksanaan pemerintahan ).
Sekalipun, misalnya setir kekuasaan tersebut dilakukan dalam rangka distribusi partisipasi ideologis kebanyakan dan atau yang dianutnya, antisipasi kembalinya koloni Hindia Belanda, serta kepura-puraan demokrasi . Hingga ada “akhir” yang elegan bagi Soekarno, dengan tanpa kejelasan penyambung kekuasaan berikutnya di bawah Soeharto.
Yang pasti dalam pemilu berikut setelah jatuhnya Soekarno, Soeharto tampil memegang kendali republik hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
Dimasa Soeharto, rumusan pembangunannya, menutup semua mata kekeliruan dan daya kritisisme, yang mestinya ada dalam mengawal pembangunan yang dilakukannya. Semua lini di keroyok dalam rancang rezim kekuasaan Soeharto. Eksesnya, hanya meninggalkan belulang-belulang sejarah, yang tak punya ruang untuk di tegakkan hukum secara adil, entah ekonomi, politik, keamanan, kebudayaan dan lain sebagainya. Semuanya menjadi soal dan masalah sepeninggal beliau dari kursi kekuasaan tersebut.
Reformasi Yang Belum Selesai
Tibalah kita di masa reformasi, masa yang penuh dengan cita-cita membangun kembali carut marut kebangsaan kita. Merapatkan barisan, membangun kesejahteraan, menegakkan keadilan, hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. Tetapi apa yang terjadi dengan sepuluh tahun di bawah masa yang penuh cita-cita ini?
Ada alasan menarik dari kalangan akademisi, bahwa Indonesia laksana Amerika Latin atau beberapa negara lain yang mengalami “transisi demokratik” dengan pendasaran-pendasaran teoritik mutakhir pada saat itu, Guillermo O’Donnel, Huntington, dan lain sebagainya.
Kenyataannya, ada ketertatihan yang belum selesai, keenakan transisional, atau malah merupakan “ democracy”, atau bahkan pembalikan demokrasi(ini mungkin jauh dari harapan semua orang). Bahwa, kekeroposan yang telah terbangun oleh rezim Soeharto tak pernah selesai diperbaiki dan di charge kembali pembangunannya oleh semua penyetir kekuasaan di era ini. (Habibie, Gus Dur, Mega maupun SBY).
Krisis ekonomi, politik, keamanan, moral dan kebudayaan masih menjadi momok yang menakutkan hingga hari ini.
Pertumbuhan ekonominya, belum menyamai atau di atas pertumbuhan di zaman rezim Orde Baru. Apalagi kita menganut ekonomi pasar bebas, sehingga penentu bagi sumber devisa dan transaksi pasar ekonomi nasional sangat ditentukan oleh pihak eksternal, multinasional atau asing. Bahkan, dokter ekonomi Indonesia (IMF dan Bank Dunia) yang menginjeksi kebijakan ekonomi kita setelah krisis tahun 1997, tak pernah bisa kita katakan “gagal” meskipun hingga 10 tahunan sekarang ini. Padahal pemegang Nobel Ekonomi sekaliber Stiglitz pun mensinyalir kegagalan mereka, dan mereka mengiyakannya.
Kedatangan Mohammad Yunus (pemegang Nobel ekonomi tahun 2006 dari Bangladesh)ke Indonesia kemarin, saya berdoa, agar dapat menjadi teladan yang sangat baik bagi Indonesia dalam usaha-usaha kita membangun ekonomi yang mandiri.
Berbicara Stiglitz, beliau (dan banyak pakar) memberi contoh negara-negara Timur jauh atau yang berada di Asia Tenggara, yang tidak melulu mengikuti 100 % injeksi kebijakan IMF yang neoliberal, bagi keberhasilan ekonominya. Ada baiknya kita mencontohi China , India bahkan negara yang paling dekat dengan kita Vietnam, yang pertumbuhan ekonomi nya sangat melesat dengan rata-rata di atas 8 % per tahun.
Secara politik, kita dihadapkan pada kekeroposan persatuan bangsa, ultra parlementarisme, semi federalistik.dan fundamentalisme.
Kekeroposan persatuan kebangsaan kita, pertama kali dibuktikan dengan hengkangnya Timor Timur dari bumi pertiwi, berikut gerakan-gerakan separatis yang banyak menjamur.
Masalah pembangunan yang tak adil dalam zaman rezim Orde Baru menjadi momok yang membahayakan di masa reformasi sekarang ini. Lihatlah Aceh, meski telah berhasil di upayakan perdamaiannya di Helsinski, belum menjadi jaminan bahwa Aceh tetap aman. Bahkan, menjelang kemerdekaan Indonesia kemaren, tanah Aceh dihebohkan dengan usaha-usaha melecehkan simbol kebangsaan kita (penurunan bendera dan pembakaran merah putih di Aceh Utara).
Menoleh ke timur, sewaktu presiden SBY meresmikan pembukaan Harganas di Maluku, tiba-tiba saja sekumpulan penari tradisional dengan membawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS) menerobos protokoler acaranya.
Di papua, gerakan semacam itu pasti masih berlangsung , dan mungkin juga di daerah-daerah lainnya.
Ultra Parlementarisme,
Dengan pelaksanaan demokrasi yang liberal di Indonesia membawa dampak konsentrasi kekuasaan di tubuh parlemen, tanpa memperkuat lembaga eksekutif di bawah presiden dalam rangka melaksanakan pembangunan. Terbukti dalam 10 tahun masa reformasi kita memiliki empat orang presiden, dengan pergantian empat kali kabinet, bahkan empat kali perubahan UUD 1945.
Tentu, dengan eksekutif yang tak kuat, kemampuan melaksanakan pembangunan sebagaimana yang kita cita-citakan tak pernah akan selesai, gejala ini juga terjadi di banyak daerah di seluruh Indonesia.
Dengan berjalannya demokrasi yang ideal di Indonesia, kita patut bersyukur. Tetapi di dalam membangun Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945(deklarasi kita), tampaknya kita perlu memikirkan sebaik-baiknya penguatan yang seimbang antara domain-domain kekuasaan demokrasi yang ada tersebut, Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, hingga tengarai Huntington tentang paradoks demokrasi dan pembangunan ekonomi tak terjadi di Indonesia.
Semi federalistik,
Semangat federalistik dalam Undang-undang tentang pemerintahaan di daerah setelah reformasi mengakibatkan munculnya pemekaran-pemekaran kewilayahan, dari RT/RW, Desa. Kelurahan hingga Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya dan Propinsi. Apapun kita mengistilahkan hal ini dalam perundang-undangan, semangatnya adalah federalistik.
Hal ini, pasti sangat mendukung gejala kekeroposan kesatuan di Indonesia, bila mana di lihat dari sudut pandang negative, tetapi secara positif, sangat mendukung bagi kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Tetapi apa yang terjadi dengan berlangungnya otonomi ini (apapun istilah kita memakainya). Dengan tanpa melihat ide otonomisasi dalam kerangka pelaksanaan Undang-undang pemerintahan di daerah, secara simplistis penulis bisa menyimpulkan bahwa otonomisasi justeru menjadi pintu birokratisasi, koruptisasi, kolutisasi, nepotisasi , politisasi, kroniisasi bahkan lebih radikal lagi : separatisasi. Keenganan kita melihat dari sisi lain dari penyelenggaraan otonomisasi ini menjadi bumerang bagi kita sendiri.
Pasti, berejejaran kasus yang akan kita dapati kalau kita perinci satu-persatu gejala simplistis yang penulis simpulkan di atas tadi.
Fundamentalisme agama
Berlangsungnya demokrasi di manapun, pasti memberi tempat bagi lahirnya fundamentalisme agama. Ini sudah menjadi sejarah panjang dari eropa dan Amerika. Fundamentalisme agama di Indonesia tidak saja sudah menjadi semacam pamong prajanya nilai-nilai syar’i yang di emban dan diperjuangkan (fenomena FPI, Hizbut tahrir dan lain sebagainya), tetapi sudah menjadi jejaring gerakan radikal global dan teroristik (terorisme di Indonesia: Bom bali, kasus Ambon, Poso dan sebagainya).
Tentu, dalam kacamata Demokrasi Indonesia, hal ini tidak perlu di beri tempat bagi diskursus dan posisi dalam politik Indonesia, tetapi dalam menanganinya kita tetap harus berdasarkan nilai-nilai yang kita anut sembari memberi dayang dukung yang ekspansif bagi gerakan-gerakan keagamaan moderat .
Dari sisi sosial kebudayaan, masih banyak masalah yang perlu kita kembali tata. Kemiskinan, Pengangguran, Amoralitas para pejabat, HIV dan sebagainya.
Nah, dengan gambaran yang kita dapatkan tersebut, apakah makna kemerdekaan yang harus kita pateri? Tak lain, tak bukan kita harus mereview kembali semangat zaman dan konstusi kita serta beristiqamah pada nilai-nilai tersebut.
Secara radikal kita harus memangkas penyimpangan penyelenggaraan pembangunan yang tak berdasar pada deklarasi yang kita anut beserta ekses-eksesnya.
Kemandirian ekonomi harus tetap terjaga tanpa membebek kepada dokter Neoliberalis beserta jarring-jaringnya.
Demokrasi Indonesia yang tidak liar bagi tumpang tindih kekuasaan masing-masing domain kekuasaan dengan tentu, tidak menjadikan sebagai pintu “mumpuni” bagi kiat-kita menyimpang penyelenggaraan kenegaraan.
Patriotisme mesti tetapbertumbuh di sekeliling penyelenggara-penyelenggara kekuasaan, dengan serta merta menjadi penyekat kesatuan dan persatuan Republik Indonesia.
Dan, agama di jadikan sumber nilai penyokong bagi hidupnya kemajemukan yang religius sehingga masyarakat sejahtera, demokratis, aman, nyaman dan makmur.
Merdeka….!
Di masa Soekarno, rentang kemerdekaan diisi dengan berapa kali perubahan setir kekuasaan, dengan tanpa merubah suatu apapun dari kesepakatan ideologis dan deklarasi Indonesia. Mengherankan, jika perubahan setir kekuasaan itu dilakukan dengan dua dominasi sistem kekuasaan. Yang pertama, yang benar-benar demokratis, dan yang kedua yang benar-benar otokratik. (Disini kita belum mendiskusikan rentang tiga kali perubahan implementasi pelaksanaan pemerintahan ).
Sekalipun, misalnya setir kekuasaan tersebut dilakukan dalam rangka distribusi partisipasi ideologis kebanyakan dan atau yang dianutnya, antisipasi kembalinya koloni Hindia Belanda, serta kepura-puraan demokrasi . Hingga ada “akhir” yang elegan bagi Soekarno, dengan tanpa kejelasan penyambung kekuasaan berikutnya di bawah Soeharto.
Yang pasti dalam pemilu berikut setelah jatuhnya Soekarno, Soeharto tampil memegang kendali republik hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
Dimasa Soeharto, rumusan pembangunannya, menutup semua mata kekeliruan dan daya kritisisme, yang mestinya ada dalam mengawal pembangunan yang dilakukannya. Semua lini di keroyok dalam rancang rezim kekuasaan Soeharto. Eksesnya, hanya meninggalkan belulang-belulang sejarah, yang tak punya ruang untuk di tegakkan hukum secara adil, entah ekonomi, politik, keamanan, kebudayaan dan lain sebagainya. Semuanya menjadi soal dan masalah sepeninggal beliau dari kursi kekuasaan tersebut.
Reformasi Yang Belum Selesai
Tibalah kita di masa reformasi, masa yang penuh dengan cita-cita membangun kembali carut marut kebangsaan kita. Merapatkan barisan, membangun kesejahteraan, menegakkan keadilan, hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. Tetapi apa yang terjadi dengan sepuluh tahun di bawah masa yang penuh cita-cita ini?
Ada alasan menarik dari kalangan akademisi, bahwa Indonesia laksana Amerika Latin atau beberapa negara lain yang mengalami “transisi demokratik” dengan pendasaran-pendasaran teoritik mutakhir pada saat itu, Guillermo O’Donnel, Huntington, dan lain sebagainya.
Kenyataannya, ada ketertatihan yang belum selesai, keenakan transisional, atau malah merupakan “ democracy”, atau bahkan pembalikan demokrasi(ini mungkin jauh dari harapan semua orang). Bahwa, kekeroposan yang telah terbangun oleh rezim Soeharto tak pernah selesai diperbaiki dan di charge kembali pembangunannya oleh semua penyetir kekuasaan di era ini. (Habibie, Gus Dur, Mega maupun SBY).
Krisis ekonomi, politik, keamanan, moral dan kebudayaan masih menjadi momok yang menakutkan hingga hari ini.
Pertumbuhan ekonominya, belum menyamai atau di atas pertumbuhan di zaman rezim Orde Baru. Apalagi kita menganut ekonomi pasar bebas, sehingga penentu bagi sumber devisa dan transaksi pasar ekonomi nasional sangat ditentukan oleh pihak eksternal, multinasional atau asing. Bahkan, dokter ekonomi Indonesia (IMF dan Bank Dunia) yang menginjeksi kebijakan ekonomi kita setelah krisis tahun 1997, tak pernah bisa kita katakan “gagal” meskipun hingga 10 tahunan sekarang ini. Padahal pemegang Nobel Ekonomi sekaliber Stiglitz pun mensinyalir kegagalan mereka, dan mereka mengiyakannya.
Kedatangan Mohammad Yunus (pemegang Nobel ekonomi tahun 2006 dari Bangladesh)ke Indonesia kemarin, saya berdoa, agar dapat menjadi teladan yang sangat baik bagi Indonesia dalam usaha-usaha kita membangun ekonomi yang mandiri.
Berbicara Stiglitz, beliau (dan banyak pakar) memberi contoh negara-negara Timur jauh atau yang berada di Asia Tenggara, yang tidak melulu mengikuti 100 % injeksi kebijakan IMF yang neoliberal, bagi keberhasilan ekonominya. Ada baiknya kita mencontohi China , India bahkan negara yang paling dekat dengan kita Vietnam, yang pertumbuhan ekonomi nya sangat melesat dengan rata-rata di atas 8 % per tahun.
Secara politik, kita dihadapkan pada kekeroposan persatuan bangsa, ultra parlementarisme, semi federalistik.dan fundamentalisme.
Kekeroposan persatuan kebangsaan kita, pertama kali dibuktikan dengan hengkangnya Timor Timur dari bumi pertiwi, berikut gerakan-gerakan separatis yang banyak menjamur.
Masalah pembangunan yang tak adil dalam zaman rezim Orde Baru menjadi momok yang membahayakan di masa reformasi sekarang ini. Lihatlah Aceh, meski telah berhasil di upayakan perdamaiannya di Helsinski, belum menjadi jaminan bahwa Aceh tetap aman. Bahkan, menjelang kemerdekaan Indonesia kemaren, tanah Aceh dihebohkan dengan usaha-usaha melecehkan simbol kebangsaan kita (penurunan bendera dan pembakaran merah putih di Aceh Utara).
Menoleh ke timur, sewaktu presiden SBY meresmikan pembukaan Harganas di Maluku, tiba-tiba saja sekumpulan penari tradisional dengan membawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS) menerobos protokoler acaranya.
Di papua, gerakan semacam itu pasti masih berlangsung , dan mungkin juga di daerah-daerah lainnya.
Ultra Parlementarisme,
Dengan pelaksanaan demokrasi yang liberal di Indonesia membawa dampak konsentrasi kekuasaan di tubuh parlemen, tanpa memperkuat lembaga eksekutif di bawah presiden dalam rangka melaksanakan pembangunan. Terbukti dalam 10 tahun masa reformasi kita memiliki empat orang presiden, dengan pergantian empat kali kabinet, bahkan empat kali perubahan UUD 1945.
Tentu, dengan eksekutif yang tak kuat, kemampuan melaksanakan pembangunan sebagaimana yang kita cita-citakan tak pernah akan selesai, gejala ini juga terjadi di banyak daerah di seluruh Indonesia.
Dengan berjalannya demokrasi yang ideal di Indonesia, kita patut bersyukur. Tetapi di dalam membangun Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945(deklarasi kita), tampaknya kita perlu memikirkan sebaik-baiknya penguatan yang seimbang antara domain-domain kekuasaan demokrasi yang ada tersebut, Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, hingga tengarai Huntington tentang paradoks demokrasi dan pembangunan ekonomi tak terjadi di Indonesia.
Semi federalistik,
Semangat federalistik dalam Undang-undang tentang pemerintahaan di daerah setelah reformasi mengakibatkan munculnya pemekaran-pemekaran kewilayahan, dari RT/RW, Desa. Kelurahan hingga Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya dan Propinsi. Apapun kita mengistilahkan hal ini dalam perundang-undangan, semangatnya adalah federalistik.
Hal ini, pasti sangat mendukung gejala kekeroposan kesatuan di Indonesia, bila mana di lihat dari sudut pandang negative, tetapi secara positif, sangat mendukung bagi kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Tetapi apa yang terjadi dengan berlangungnya otonomi ini (apapun istilah kita memakainya). Dengan tanpa melihat ide otonomisasi dalam kerangka pelaksanaan Undang-undang pemerintahan di daerah, secara simplistis penulis bisa menyimpulkan bahwa otonomisasi justeru menjadi pintu birokratisasi, koruptisasi, kolutisasi, nepotisasi , politisasi, kroniisasi bahkan lebih radikal lagi : separatisasi. Keenganan kita melihat dari sisi lain dari penyelenggaraan otonomisasi ini menjadi bumerang bagi kita sendiri.
Pasti, berejejaran kasus yang akan kita dapati kalau kita perinci satu-persatu gejala simplistis yang penulis simpulkan di atas tadi.
Fundamentalisme agama
Berlangsungnya demokrasi di manapun, pasti memberi tempat bagi lahirnya fundamentalisme agama. Ini sudah menjadi sejarah panjang dari eropa dan Amerika. Fundamentalisme agama di Indonesia tidak saja sudah menjadi semacam pamong prajanya nilai-nilai syar’i yang di emban dan diperjuangkan (fenomena FPI, Hizbut tahrir dan lain sebagainya), tetapi sudah menjadi jejaring gerakan radikal global dan teroristik (terorisme di Indonesia: Bom bali, kasus Ambon, Poso dan sebagainya).
Tentu, dalam kacamata Demokrasi Indonesia, hal ini tidak perlu di beri tempat bagi diskursus dan posisi dalam politik Indonesia, tetapi dalam menanganinya kita tetap harus berdasarkan nilai-nilai yang kita anut sembari memberi dayang dukung yang ekspansif bagi gerakan-gerakan keagamaan moderat .
Dari sisi sosial kebudayaan, masih banyak masalah yang perlu kita kembali tata. Kemiskinan, Pengangguran, Amoralitas para pejabat, HIV dan sebagainya.
Nah, dengan gambaran yang kita dapatkan tersebut, apakah makna kemerdekaan yang harus kita pateri? Tak lain, tak bukan kita harus mereview kembali semangat zaman dan konstusi kita serta beristiqamah pada nilai-nilai tersebut.
Secara radikal kita harus memangkas penyimpangan penyelenggaraan pembangunan yang tak berdasar pada deklarasi yang kita anut beserta ekses-eksesnya.
Kemandirian ekonomi harus tetap terjaga tanpa membebek kepada dokter Neoliberalis beserta jarring-jaringnya.
Demokrasi Indonesia yang tidak liar bagi tumpang tindih kekuasaan masing-masing domain kekuasaan dengan tentu, tidak menjadikan sebagai pintu “mumpuni” bagi kiat-kita menyimpang penyelenggaraan kenegaraan.
Patriotisme mesti tetapbertumbuh di sekeliling penyelenggara-penyelenggara kekuasaan, dengan serta merta menjadi penyekat kesatuan dan persatuan Republik Indonesia.
Dan, agama di jadikan sumber nilai penyokong bagi hidupnya kemajemukan yang religius sehingga masyarakat sejahtera, demokratis, aman, nyaman dan makmur.
Merdeka….!