Selasa, 13 November 2007

CATATAN KECIL NOVEMBER DAN TAWARAN SEDERHANA

Dua yang menyakitkan
Dua hal yang menyakitkan di baca, di dengar dan disaksikan tentang kondisi penegakan hukum bagi republik belum lama ini, pertama: bebasnya Adelin Lis, konglomerat kayu di daerah Sumatera Utara, yang diputusbebaskan oleh PN Medan beberapa waktu lalu, padahal disinyalir menyimpan misteri illegal logging di daerah tersebut, Tak disangka Menhut M.S. Ka’ban disinyalir sebagai pihak eksekutif yang turut mempengaruhi keputusan hakim membebaskan Adelin Lis, padahal untuk penyelidikan berikut polisi juga mencium bau money laudering di kasusnya tersebut, perlu juga diketahui bahwa Adelin Lis, setelah susah payah dicari akhirnya di tangkap di KBRI China pada saat mengurus pasportnya. Sebuah usaha yang sia-sia bagi penegakan hukum, karena setelah ditangkap, diadili, tetapi pada akhirnya di lepas lagi. Terakhir, kuasa hukum Hotman Paris Hutapea(13/11/2007) mensinyalir bahwa Adelin Lis, tidak akan ke Indonesia, dengan alasan buruknya penegakan hukum di negeri ini.

Kedua , Arus uang panas dari BI atau dari YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia) pada kurun periode 1999- 2004, sebesar 100 miliar lebih, menyangkut urusan mengiringi para mantan-mantan Direktur dan alumni BI dalam berurusan dgn hukum, karena BLBI. Arus uang itu sebagian ke para penegak hukum, dan sebagian lagi ke kantung para wakil rakyat di gedung Senayan. Yang pasti, Yayasan yang maksud berdirinya untuk sektor pendidikan, membiayai hal semacam ini menjadi pertanyaan yang membingungkan, apalagi dalam neraca BI, untuk urusan konsultasi hukum dan yang ada hubungannnya dgn firma atau kantor hukum sudah tertera pengeluarannya diatas 10 milliar. Kita menunggu bola liar BI ini, yang sekarang sudah berada di KPK.

Tak tahulah, apa lagi yang akan tersuguh beberapa waktu ke depan. Apakah, ini semacam keberhasilan usaha menegakkan hukum, dengan cara membeberkan borok-borok semacam tadi, ataukah semacam rumusan dan skenario politik menuju 2009. Yang pasti riuhnya gemuruh korupsi di Indonesia ini, masih seiring dengan ancaman global, semacam Imported inflation, harga minyak yang masing membumbung, (terakhir tidak mampunya target produksi 960.000 barel per hari atau menurut APBN P sebesar 1.046 Juta barel per hari di Indonesia, yang berarti akan menyisakan masalah pada subsidi), terpukulnya dollar dan ekonomi Amerika serikat, serta koreksi asumsi IMF bagi pertumbuhan ekonomi dunia, dari 5,2 % menjadi 4,8 %. Disisi lain, pemerintah masih cukup optimis merespons ancaman resesi global tersebut, dengan tidak akan menaikkan harga minyak sampai dengan pemilu nanti, tanpa juga realistis memperhatikan harga-harga yang mulai terkatrol akibat Imported inflation , sembari tetap berkutat pada inflasi tahun ini pada limit 6, plus minus 1-5 persen hingga akhir desember nanti.


Realitas ini, ibarat kita bermain bola api, salah nembak kaki pasti terbakar. Kucing-kucingan kebijakan dengan arah demi kepentingan jangka pendek, dan hanya untuk kelompok, pasti akan menginvest masalah yang lebih dasyat, baik lokal, nasional, regional bahkan global. Maka. Tidak usah susah-susah Juwono mati-matian memperjuangkan RUU Komponen Cadangan, atau Kalla sibuk berwacana tentang metode pemilihan yang diusulnya pake tulisan tangan, atau SBY yang rada-rada reaktif atas kritikan para Seniornya, atau Rizal Ramli yang sibuk membangkitkan lokomotif “Incumbent”. Toh, masalah besar, yang menjadi agenda besar pemerintah yang terpilih belum mencerminkan keberhasilan yang memadai. Pro Job…. Pro Poor,???

Mengapa sih, kita tidak memiliki sebuah usaha besar semacam master plan pembangunan untuk sektor-sektor yang menjadi fokus. Untuk urusan politik, mungkin kita sudah cukup berhasil, bahkan masih menyisakan proses transisi yang menurut Ketua Asosiasi Konsultasi Politik Internasional pada saat kongres kemaren, mengagumkan, bahkan dapat menjadi pilot project demokrasi di Asia, bahkan presiden SBY sendiri di anugerahi Medali Demokrasi segala.

Yang menjadi masalah sebagai sebuah Master plan pembangunan adalah ekonomi. Usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi memang pernah disinyalir Huntington, tidak bisa imbang dengan urusan demokrasi politik, tetapi itu urusan kajian sosio historisnya Huntington. Toh, meskipun belum memadai kita masih bisa sempat mengatrol ekonomi Indonesia di atas 6 %.
Justeru yang jadi masalah, adalah kok pertumbuhan sebesar itu tidak berdampak pada beberapa fokus pembangunan pemerintahan SBY, semacam kemiskinan dan ketenaga kerjaan./ pengangguran di Indonesia.
Untuk itu, kayaknya masterplan pembangunan ekonomi memang harus berfokus dan tentu, memiliki dampak yang riil bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Disamping kita berusaha tetap bahu-membahu di semua lini ekonomi tersebut.

Tawaran Sederhana
Tawaran sederhana saya, gimana kalo fokus pembangunan dalam lima tahun ke depan lebih diarahkan ke sektor pertanian, dan infrastruktur. Untuk sektor pertanian, yang mungkin dapat menyerap tenaga kerja sampai 90 % pasti dengan sendirinya dapat mengatrol pertumbuhan konsumsi, yang pada akhirnya mengatrol pertumbuhan ekonomi.

Disisi lain, bukankah dengan wacana lingkungan, perbaikan iklim serta recovery energi dari emas hitam(minyak) ke energi nabati, merupakan peluang bagi kita sebagai negara agraris, disamping itu krisis kredit di sektor agraris maupun kurangnya fokus pembangunan di sektor ini menyisakan masalah pada sub sektor proses dan hasil produksi, dari harga gabah, beras, gula, pala yang tidak sesuai dengan target produksi menjadikan kita sebagai negara importir, atau kalaupun menjadi negara eksportir, tetapi kalah bersaing di tingkat global. Rasanya diperlukan renungan yang menghunjam dan kritis, untuk memateri kekuatan atas langkah-langkah kebijakan ekonomi yang terstruktur, fokus dan terarah, minimal dalam 5 tahun ke depan sekarang ini. Sehingga, dengan fokus pembangunan di sektor ini, pasti memberi pelajaran berharga pada orang-orang semacam Adelin Lis, Ahmad Pakaya, atau yang lainnya.
Kita harus cemburu kepada George Soros, yang jauh-jauh dari eropa, membangun kebun sawit di Aceh. Bukan apa-apa, tetapi seorang pejudi bursa sekaliber dia masih menyisakan pikiran bagi pembangunan di sektor pertanian ini.

Kedua, sektor infrastruktur sangat dibutuhkan bagi pemenuhan jalur distribusi produksi semua sektor ekonomi. Sektor ini, ibarat katup pembuka bagi tumbuhnya ekonomi riil. Tentu saja fokus sektor infrastruktur harus sinergik dengan sektor lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Tanpa infrastruktur yang memadai bagaimana mungkin nadi ekonomi akan jalan. Akses pasar dan distribusi dapat menjangkau, sehingga kompetitif, dan konsumsi dapat tumbuh sesuai target. Bukankah masalah di kita setiap kali investor asing
mulai berinvest di Indonesia adalah kurang memadainya infrastruktur. Tetapi, sekali lagi, sinergitas dengan aspek sosial dan lingkungan harus menjadi prioritas lebih dahulu, ketimbang ekonomi, pasti akan memadai bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, merata, dan kuat.


Secara politik, tentu dengan good will semua pihak bagi katrol pertumbuhan ekonomi, yang berarti memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran dapat menjadi modal sosial politik yang “high” ketimbang memikirkan kursi panas menjelang tiap momentum . Bukan apa-apa, tetapi ini adalah satu masalah krusial wacana para elit pemegang kendali bangsa ini.
Untuk, karena energi yang tersedot pada kepentingan berjangka pendek tersebut, di tambah pada pembangunan yang belum terarah dan fokus, apalagi dengan grasak-grusuk korupsi di hampir semua lembaga kenegaraan, memberi cermin atas kelemahan pengelolaan Negara dari pusat hingga daerah. Padahal dalam hal memperkuat pengelolaan, setidaknya kita berfokus , misalnya pada penegakaan hukum atau dalam urusan pembangunan pada sektor pertanian dan Infranstruktur. (disamping kita memperkecualikan wacana system kenegaraan). Wallahu a’lam.

Kamis, 27 September 2007

MASALAH IDENTITAS DAN SUMBANGSIHNYA BAGI KEKAYAAN PERADABAN

Menarik membaca buku Amartya Sen yang berjudul “ Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas”, selain menarik bahasan dan kajian kritisnya, lebih dari itu, sikap intelektualnya itu seiring dengan sikapku selama ini, taruhlah misalnya sejak keyakinan-keyakinan tersebut menghunjam semenjak menjadi aktivis mahasiswa, tapi tidak, mungkin dimulai semenjak masa-masa SMA.

Sewaktu Samuel Huntington, populer dengan teori benturan antar peradaban dasawarsa silam, -masih terngiang diskusi ttg teori Huntington ini di antara teman-teman mahasiswa- banyak kejadian-kejadian politik identitas yang cenderung linear dengan teori Huntington, meskipun misalnya kita tidak sepenuhnya setuju dengan beliau. Sehingga ada reduksi-anggapan yang keterlaluan atas sumbangsih teori Huntington. Pertama, bahwa Huntington lewat teorinya, memberi semacam kaidah-kaidah sikap politik identitas yang menyesatkan ketimbang sebagai teori sosial yang valid bagi batasan-batasan yang ia berikan, seperti misalnya dengan sebutan peradaban Islam, peradaban Kristen, Hindu, Barat dsb. (menarik kajian kritis Amartya Sen disini, beliau membedah habis kekeliruan teoritis dari teori benturan peradaban menurut Huntington), Kedua, Lebih dari pada itu, menyediakan kemapanan konflik yang disebut sebagai konflik peradaban seperti benturan peradaban Islam dan Barat dan sebagainya. Ketiga, Olehnya, mengakibatkan kesesatan reduktif bagi pemahaman global tentang kebudayaan, peradaban, pluralitas dan globalisasi.

Kesesatan yang nyata dan linear bagi kaidah-kaidah sikap politik identitas, yang disebut sebagai peradaban menurut Huntington, seakan menyediakan ruang yang tetap dan berlawanan dengan identitas peradaban lainnya. Hal ini telah dimulai secara simbolik di Afghanistan dan peristiwa 11/09. Maka, tidak mengherankan bilamana wacana penumpasan terorisme Islam pasca September kelabu tersebut, berada dalam ranah dan batasan menurut Huntington, “benturan peradaban”. Linearitas tersebut terjadi bukan saja di sisi dominan, melainkan juga pada sikap-sikap yang lebih fundamentalistik dari perasaan identitas masing-masing.

Padahal, di balik kekeliruan gema teori tersebut beserta konsekuensi sosial politik pada sikap-sikap dan kecenderungan-kecenderungan politik global, menyediakan kekayaaan identitas yang tidak semestinya tersesat pada wacana hegemoniknya Huntington. Disini ketertarikan saya ketika membaca Amartya Sen.

Amartya menguliti habis kekeliruan teori Huntington tersebut, bahkan pada sikap-sikap penyelesaian benturan yang paling mutakhir sekalipun. Disini pikiran saya melayang pada pegiat-pegiat dialog antar agama, dialog pluralitas dan semacamnya, yang menurut amartya, hanya merupakan penyumbang bagi langgengnya kekeliruan teori benturan peradaban atau pemiskinan kekayaan peradaban itu sendiri.

Olehnya, ketika membahas tentang identitas, pasti kita bukan membahas identitas yang tunggal, melainkan multi identitas. Maksudnya, kita tidak serta merta hanya membahas Identitas seseorang yang beragama Islam, Kristen atau Kong Hu Chu, melainkan selain beragama Islam, kelahiran Banglades, tetapi keturunan Turki Eropa, berprofesi sebagai pengacara, pencinta sepakbola, dan mengikut clubbing di Amerika. Begitu berjejeran dan banyak identitas yang dimiliki setiap orang, apalagi misalnya kalau kita harus memerangkapnya ke istilah peradaban itu sendiri. Kekayaan identitas tersebut yang pasti dapat menyumbang bagi peradaban itu sendiri,

Kembali di alinea pertama di atas, sewaktu mengikuti pertemuan buka puasa beberapa waktu lalu yang diselenggarakan oleh salah satu organisasi alumni mahasiswa beretnis Gorontalo di rumahnya pak Sofyan Maku, atau beberapa kali pertemuan-pertemuan semacam itu sebelumnya, pikiran saya lagi-lagi melayang ke tulisan Amartya Sen di buku tersebut. Kekayaan identitas yang produktif, beraneka ragam tidak semestinya direduksi oleh keragaman identitas, seakan didunia lain selain dunia sini, tidak ada.

Sikap pribadi semenjak mahasiswa, yang tidak bergeming dan melakukan aktivitas organisasi mahasiswa yang berdasarkan etnis atau penafian pada sikap-sikap ethno sentries, ditelisik karena mungkin pengaruh ideology independensi keyakinan dan intelektual menurut doktrin HMI pada saat itu.

Meskipun demikian, lepas dari telisik yang lebih dalam, ketertatihan sikap-sikap semacam itu menggambarkan di diri saya pada pribadi yang lebih beridentitas optimis.

Hal nyata, sikap-sikap tersebut yang paling minimal memungkinkan sebagai solusi penyelesaian konflik global, yang didasarkan atas kerangkeng benturan-benturan peradaban, menurut Amartya, selain tentu pula sebagai kekayaan peradaban itu sendiri.

Olehnya, dapat disimpulkan masalah identitas yang akan menentukan sumbangsihnya bagi peradaban, tergantung pada nalar, pilihan dan konteks sosial. Bilamana nalar sesat, dengan pilihan yang sesat pada konteks sosial yg menindas, pasti terkerangkeng pada benturan peradaban, sebaliknya bila nalar yang sehat, independent, objektif, dengan pilihan yang tepat dan kompleks tetapi dalam konteks sosial yang membebaskan, pasti tiada kerangkeng yang membentur peradaban. Sumbangsihnya adalah kekayaan peradaban di samping solusi paling minimal dalam menyelesaikan konflik global sekarang ini. Demikian.


(by rahmat adam, 27/09/2007, di saat gaji dan THR cair..heheh)

Selasa, 25 September 2007




Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)

Rabu, 12 September 2007

MARHABAN RAMADHAN

Seperti air di terik panasnya matahari, ramadhan hadir meleluasakan diri kita untuk kembali di fitrah yang sebenarnya. Ada gelitik-gelitik moral dan sosial dalam momen ramadhan ini, yang intinya adalah bagaimana mengelola ‘ann-nafs” sehingga produktif dan efektif bagi manusia dan sekelilingnya. Dalam istilah para da’i, disebut sebagai ruang dan saat melatih mengendalikan diri, peka sosial dan konsentrasi pengabdian pada Allah SWT.

Sejatinya, ramadhan menyediakan ruang moral, sosial dan transendental yang total bagi penggeMblengan diri, yang kadang sok dan bangga dengan kekuasaan dan harta yang kita miliki. Ramadhan hadir untuk menyadarkan kembali fungsi dasar kita di ciptakan, proses berperilaku hidup seperti yang dituntun, serta arah dan tujuan hidup kita di atas bumi ini.

Olehnya, kewajiban ritual puasa oleh Allah SWT (QS. Al-baqarah :185) di dalam bulan ramadhan, hendaknya tidak semata dipahami materil belaka, menahan lapar dan dahaga serta seks. Melainkan efek bathiniah yang sangat besar bagi diri kita, pembangunan manusia yang seutuhnya, bahkan bagi cita-cita setiap program kebangsaan, kenegaraan dan dunia. Mengapa?

Dalam hadits Qudsi, Allah SWT, berfirman : “ As showmu lii wa anaa ajzii bihi” yang artinya puasa itu untukku dan akulah yang akan membalasnya. Hadits lain, sekembali dari Perang Badar, Muhammad bersabda: “ Kita kembali dari perang yang kecil dan akan menghadapi perang besar, yakni perang melawan hawa nafsu” (raja’na minal jihaadil asghar, illa jihaadil akbar, wa hiya jihaadin nafs).

Dari dua hadits tersebut, bila dihubungkan dengan kewajiban puasa di dalam Al-Qur’an, bisa di beri beberapa catatan :

Pertama, Allah SWT, mewajibkan ummatnya untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan orang-orang sebelum kita, agar kita bertaqwa, sebetulnya memiliki makna yang sangat mendalam. Pengertiannya tidak semata menahan lapar, dahaga dan seks, bagi usaha menjadi orang bertaqwa, melainkan bagaimana kelola an-nafs yang menjulang tidak saja pada fungsi-fungsi materil manusia, melainkan fungsi-fungsi bathin kemanusiaan. Sinyal hebat ini, telah diwahyukan oleh Allah SWT, baik dalam surat Al’A’raf ayat 172 di awal peniupan ruh ke tulang sulbi manusia, QS. Ar-rum ayat 30(tentang fitrah manusia), maupun dalam hadits Qudsi di atas. Puasa itu untukku dan akulah yang akan membalasnya. Keberhasilan mengimplementasikan puasa yang padu ini, bagi diri kita, sangat punya efek bagi cita-cita dan program kemanusian yang kita bangun .

Kedua, Komitmen dan konsistensi(ayyaman ma’duudats), adalah dasar moral yang sangat menentukan integritas seorang Muslim. Hari-hari yang ditentukan bagi kewajiban berpuasa bagi Muslimin, menggembleng diri dalam usaha exercising(pelatihan) Ke-Istiqamahan yang cerdas dan tepat.
Ketiga, Ramadhan sebagai ruang pengaktualisasian latihan kepekaan sosial, lewat kebajikan Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Terpapar di dalam ramadhan kiat pribadi yang transendental, dan perilaku sosial yang seimbang, se-akan Tuhan menitip pesan perilaku hidup tiap manusia tidak harus berlaku sangat egoistis (demi kepentingan kebaikan diri sendiri) tetapi seimbang juga bagi kepekaan sosial yang altruistik.
Variable Zakat, sebagai arkanul Islam, olehnya dapat dipahami sebagai tool of social control bagi pemenuhan program pembangunan masyarakat yang makmur dan sejahtera

Keempat, Makna turunnya Al-Qur’an pertama kali di bulan Ramadhan, olehnya dapat dipahami sebagai penanda pentingnya Ilmu Pengetahuan. Hal nyata, yang menjadi kemunduran umat Islam dibandingkan dengan umat-umat lainnya. Olehnya, bertahun-tahun kita seremonialkan turunnya Al-Qur’an dan kita rayakan, semestinya menjadi penggemblengan bagi usaha ummat menguasai ilmu pengetahuan setinggi-tingginya.


Dari beberapa catatan yang diurai tersebut di atas, apa yang relevan dengan ramadhan yang berulang-ulang kita lalui dan laksanakan kewajibannya?

Tentu, ada spasial, ada jarak dari motif dan niat yang sesungguhnya dalam menjalankan kewajiban di bulan Ramadhan dengan apa yang kita jalankan, apalagi misalnya kita menjadikannya faktor-faktor pengacu bagi usaha mengimplementasikannya di luar Ramadhan. Olehnya, pasti bakal banyak pertanyaan yang menghunjam dan penting bagi ketololan dan kebodohan kita yang tidak cerdas dan istiqamah mangambil dan mengimplementasikan nilai-nilai dan resep-resep yang telah dipersediakan Tuhan, misalnya lewat Ramadhan .

Untuk itu, kesadaran di awal menemui ramadhan adalah kesadaran yang melintasi batas cita-cita, tidak stagnan pada ritualisme, tetapi di kiat dengan program diri dan sosial yang terarah dan fokus, sehingga Islam bisa betul-betul menjadi rahmatan lil aalamin….
(…. Laallakum tattaquun/agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa).
Marhaban yaa ramadhan

Jumat, 17 Agustus 2007

MERDEKA.....?


Tulisan Budiman Sudjatmiko dalam Kompas tanggal 15 Agustus 2007 lalu, membuktikan sebuah jarak antara cita-cita dan implementasi dari proklamasi dan deklarasi Indonesia. Ada sebuah kekeliruan ideologis dalam pencanangan dan minim dari pelaksanaan demi cita-cita yang tertuang di dalamnya. Lepas dari pada itu, sebetulnya kita ingin mempertanyakan makna kemerdekaan dalam rentang 62 tahun di bawah banyak rezim dan banyak sistem yang dilaksanakan . Toh, para implementatornya melaksanakan secara berbeda-beda dengan derajat keberhasilan yang berbeda-beda pula.Tidak salah, kalau misalnya Jurgen Habermas, mengatakan bahwa Negara-negara semata-mata adalah kreasi-kreasi dari pemerintahnya.

Di masa Soekarno, rentang kemerdekaan diisi dengan berapa kali perubahan setir kekuasaan, dengan tanpa merubah suatu apapun dari kesepakatan ideologis dan deklarasi Indonesia. Mengherankan, jika perubahan setir kekuasaan itu dilakukan dengan dua dominasi sistem kekuasaan. Yang pertama, yang benar-benar demokratis, dan yang kedua yang benar-benar otokratik. (Disini kita belum mendiskusikan rentang tiga kali perubahan implementasi pelaksanaan pemerintahan ).
Sekalipun, misalnya setir kekuasaan tersebut dilakukan dalam rangka distribusi partisipasi ideologis kebanyakan dan atau yang dianutnya, antisipasi kembalinya koloni Hindia Belanda, serta kepura-puraan demokrasi . Hingga ada “akhir” yang elegan bagi Soekarno, dengan tanpa kejelasan penyambung kekuasaan berikutnya di bawah Soeharto.

Yang pasti dalam pemilu berikut setelah jatuhnya Soekarno, Soeharto tampil memegang kendali republik hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Dimasa Soeharto, rumusan pembangunannya, menutup semua mata kekeliruan dan daya kritisisme, yang mestinya ada dalam mengawal pembangunan yang dilakukannya. Semua lini di keroyok dalam rancang rezim kekuasaan Soeharto. Eksesnya, hanya meninggalkan belulang-belulang sejarah, yang tak punya ruang untuk di tegakkan hukum secara adil, entah ekonomi, politik, keamanan, kebudayaan dan lain sebagainya. Semuanya menjadi soal dan masalah sepeninggal beliau dari kursi kekuasaan tersebut.

Reformasi Yang Belum Selesai
Tibalah kita di masa reformasi, masa yang penuh dengan cita-cita membangun kembali carut marut kebangsaan kita. Merapatkan barisan, membangun kesejahteraan, menegakkan keadilan, hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. Tetapi apa yang terjadi dengan sepuluh tahun di bawah masa yang penuh cita-cita ini?
Ada alasan menarik dari kalangan akademisi, bahwa Indonesia laksana Amerika Latin atau beberapa negara lain yang mengalami “transisi demokratik” dengan pendasaran-pendasaran teoritik mutakhir pada saat itu, Guillermo O’Donnel, Huntington, dan lain sebagainya.

Kenyataannya, ada ketertatihan yang belum selesai, keenakan transisional, atau malah merupakan “ democracy”, atau bahkan pembalikan demokrasi(ini mungkin jauh dari harapan semua orang). Bahwa, kekeroposan yang telah terbangun oleh rezim Soeharto tak pernah selesai diperbaiki dan di charge kembali pembangunannya oleh semua penyetir kekuasaan di era ini. (Habibie, Gus Dur, Mega maupun SBY).

Krisis ekonomi, politik, keamanan, moral dan kebudayaan masih menjadi momok yang menakutkan hingga hari ini.

Pertumbuhan ekonominya, belum menyamai atau di atas pertumbuhan di zaman rezim Orde Baru. Apalagi kita menganut ekonomi pasar bebas, sehingga penentu bagi sumber devisa dan transaksi pasar ekonomi nasional sangat ditentukan oleh pihak eksternal, multinasional atau asing. Bahkan, dokter ekonomi Indonesia (IMF dan Bank Dunia) yang menginjeksi kebijakan ekonomi kita setelah krisis tahun 1997, tak pernah bisa kita katakan “gagal” meskipun hingga 10 tahunan sekarang ini. Padahal pemegang Nobel Ekonomi sekaliber Stiglitz pun mensinyalir kegagalan mereka, dan mereka mengiyakannya.

Kedatangan Mohammad Yunus (pemegang Nobel ekonomi tahun 2006 dari Bangladesh)ke Indonesia kemarin, saya berdoa, agar dapat menjadi teladan yang sangat baik bagi Indonesia dalam usaha-usaha kita membangun ekonomi yang mandiri.

Berbicara Stiglitz, beliau (dan banyak pakar) memberi contoh negara-negara Timur jauh atau yang berada di Asia Tenggara, yang tidak melulu mengikuti 100 % injeksi kebijakan IMF yang neoliberal, bagi keberhasilan ekonominya. Ada baiknya kita mencontohi China , India bahkan negara yang paling dekat dengan kita Vietnam, yang pertumbuhan ekonomi nya sangat melesat dengan rata-rata di atas 8 % per tahun.

Secara politik, kita dihadapkan pada kekeroposan persatuan bangsa, ultra parlementarisme, semi federalistik.dan fundamentalisme.

Kekeroposan persatuan kebangsaan kita, pertama kali dibuktikan dengan hengkangnya Timor Timur dari bumi pertiwi, berikut gerakan-gerakan separatis yang banyak menjamur.
Masalah pembangunan yang tak adil dalam zaman rezim Orde Baru menjadi momok yang membahayakan di masa reformasi sekarang ini. Lihatlah Aceh, meski telah berhasil di upayakan perdamaiannya di Helsinski, belum menjadi jaminan bahwa Aceh tetap aman. Bahkan, menjelang kemerdekaan Indonesia kemaren, tanah Aceh dihebohkan dengan usaha-usaha melecehkan simbol kebangsaan kita (penurunan bendera dan pembakaran merah putih di Aceh Utara).
Menoleh ke timur, sewaktu presiden SBY meresmikan pembukaan Harganas di Maluku, tiba-tiba saja sekumpulan penari tradisional dengan membawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS) menerobos protokoler acaranya.
Di papua, gerakan semacam itu pasti masih berlangsung , dan mungkin juga di daerah-daerah lainnya.

Ultra Parlementarisme,
Dengan pelaksanaan demokrasi yang liberal di Indonesia membawa dampak konsentrasi kekuasaan di tubuh parlemen, tanpa memperkuat lembaga eksekutif di bawah presiden dalam rangka melaksanakan pembangunan. Terbukti dalam 10 tahun masa reformasi kita memiliki empat orang presiden, dengan pergantian empat kali kabinet, bahkan empat kali perubahan UUD 1945.
Tentu, dengan eksekutif yang tak kuat, kemampuan melaksanakan pembangunan sebagaimana yang kita cita-citakan tak pernah akan selesai, gejala ini juga terjadi di banyak daerah di seluruh Indonesia.
Dengan berjalannya demokrasi yang ideal di Indonesia, kita patut bersyukur. Tetapi di dalam membangun Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945(deklarasi kita), tampaknya kita perlu memikirkan sebaik-baiknya penguatan yang seimbang antara domain-domain kekuasaan demokrasi yang ada tersebut, Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, hingga tengarai Huntington tentang paradoks demokrasi dan pembangunan ekonomi tak terjadi di Indonesia.

Semi federalistik,
Semangat federalistik dalam Undang-undang tentang pemerintahaan di daerah setelah reformasi mengakibatkan munculnya pemekaran-pemekaran kewilayahan, dari RT/RW, Desa. Kelurahan hingga Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya dan Propinsi. Apapun kita mengistilahkan hal ini dalam perundang-undangan, semangatnya adalah federalistik.
Hal ini, pasti sangat mendukung gejala kekeroposan kesatuan di Indonesia, bila mana di lihat dari sudut pandang negative, tetapi secara positif, sangat mendukung bagi kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Tetapi apa yang terjadi dengan berlangungnya otonomi ini (apapun istilah kita memakainya). Dengan tanpa melihat ide otonomisasi dalam kerangka pelaksanaan Undang-undang pemerintahan di daerah, secara simplistis penulis bisa menyimpulkan bahwa otonomisasi justeru menjadi pintu birokratisasi, koruptisasi, kolutisasi, nepotisasi , politisasi, kroniisasi bahkan lebih radikal lagi : separatisasi. Keenganan kita melihat dari sisi lain dari penyelenggaraan otonomisasi ini menjadi bumerang bagi kita sendiri.

Pasti, berejejaran kasus yang akan kita dapati kalau kita perinci satu-persatu gejala simplistis yang penulis simpulkan di atas tadi.

Fundamentalisme agama
Berlangsungnya demokrasi di manapun, pasti memberi tempat bagi lahirnya fundamentalisme agama. Ini sudah menjadi sejarah panjang dari eropa dan Amerika. Fundamentalisme agama di Indonesia tidak saja sudah menjadi semacam pamong prajanya nilai-nilai syar’i yang di emban dan diperjuangkan (fenomena FPI, Hizbut tahrir dan lain sebagainya), tetapi sudah menjadi jejaring gerakan radikal global dan teroristik (terorisme di Indonesia: Bom bali, kasus Ambon, Poso dan sebagainya).
Tentu, dalam kacamata Demokrasi Indonesia, hal ini tidak perlu di beri tempat bagi diskursus dan posisi dalam politik Indonesia, tetapi dalam menanganinya kita tetap harus berdasarkan nilai-nilai yang kita anut sembari memberi dayang dukung yang ekspansif bagi gerakan-gerakan keagamaan moderat .


Dari sisi sosial kebudayaan, masih banyak masalah yang perlu kita kembali tata. Kemiskinan, Pengangguran, Amoralitas para pejabat, HIV dan sebagainya.


Nah, dengan gambaran yang kita dapatkan tersebut, apakah makna kemerdekaan yang harus kita pateri? Tak lain, tak bukan kita harus mereview kembali semangat zaman dan konstusi kita serta beristiqamah pada nilai-nilai tersebut.

Secara radikal kita harus memangkas penyimpangan penyelenggaraan pembangunan yang tak berdasar pada deklarasi yang kita anut beserta ekses-eksesnya.
Kemandirian ekonomi harus tetap terjaga tanpa membebek kepada dokter Neoliberalis beserta jarring-jaringnya.
Demokrasi Indonesia yang tidak liar bagi tumpang tindih kekuasaan masing-masing domain kekuasaan dengan tentu, tidak menjadikan sebagai pintu “mumpuni” bagi kiat-kita menyimpang penyelenggaraan kenegaraan.
Patriotisme mesti tetapbertumbuh di sekeliling penyelenggara-penyelenggara kekuasaan, dengan serta merta menjadi penyekat kesatuan dan persatuan Republik Indonesia.
Dan, agama di jadikan sumber nilai penyokong bagi hidupnya kemajemukan yang religius sehingga masyarakat sejahtera, demokratis, aman, nyaman dan makmur.

Merdeka….!

Senin, 06 Agustus 2007

BUSYET! POLITIK FITNAH ALA INDONESIA….


Busyet… gak kepikir kalo ini adalah kartu As nya Zainal Maarif ketika meresponi Keputusan Presiden menyangkut perecall -an dirinya oleh PBR dari kursi Wakil Ketua DPR RI. Apa itu!, masalah sudah kawinnya Soesilo Bambang Yudoyono semenjak sebelum menjadi siswa di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. So pasti, semua kebakaran jenggot, yang pertama pasti di pihak SBY, yang langsung saja meresponinya dengan melaporkan ke Kepolisian bahwa apa yang di kemukakan saudara Zainal adalah fitnah belaka, tentu ada proses hukum setelah itu. Berikut, oleh orang sekeliling beliau, dari Kepala Staf Angkatan Darat yang merasa terusik hingga Andi Malaranggeng, si juru tangkis presiden, yang membantah habis-habisan Zainal dalam acara diskusi di Metro TV beberapa waktu lalu.
Di pihak Zainal sendiri, tetap memperjuangkan borok SBY tersebut dengan sekian bukti yang dimilikinya, dan dilaporkan ke MPR-RI, KPK hingga ke kepolisian..

Saya gak habis pikir, beginikah pamor politik kalangan yang menyatakan diri sebagai orang-orang negarawan, politisi-politisi kaliber yang memprioritaskan moralitas politik di Indonesia. Sinyal apa gerangan yg di dramatisasikan oleh Jakarta? (kalau boleh membanggakan, saya lebih bangga sama George Soros, seorang Negarawan yang tak ber Negara , begitu puji seorang mantan presiden Ukraina kepada beliau, yang di vonis Mahathir sebagai penyebab krisis moneter di Asia 10 tahun lalu)

Ataukah hal tersebut adalah lumrah dalam politik, apalagi misalnya bila kita mereferensikan dengan prinsip-prinsip politiknya Machiavelli. (“ The end Justified the means"). Bisa jadi, sebab bagi kalangan agamawan yang paling ideolog sekalipun sering mengidealkan karakter berpolitik Nicolo. Contoh kecil, seorang rentenir di kampung paling udik hingga yang paling modern bisa naik haji dan pulang menjadi orang paling mulia dan disegani di daerahnya. Dan di Indonesia pasti banyak haji-haji seperti itu.

Apa sebenarnya yang terjadi
Padahal, ajaran dan nilai-nilai yang kita tahu dan anut, mungkin menyangkal perilaku semacam itu. Tak elok rasanya style politik yang dinampakkan. Kalau demikian apa sebenarnya yang terjadi?
Pertama, apakah sudah demikian rusak gaya politik nasional, sehingga menjadi gambaran umum politik kebangsaan kita di bumi pertiwi ini, dan bilamana kita menohok lebih jauh ke daerah, apakah gambaran yang “busyet” dan tidak bermoral dalam politik yang bisa kita dapatkan?, mulai dari soal selingkuhan, seks di kantoran hingga korupsi oleh bupati, camat hingga lurah, dan jangan lupa ini juga jadi gambaran umum dalam elit politik nasional kita.
kedua, Ataukah ini adalah transisi exercising politik demokrasi Indonesia, hingga melumer pada soal sikap, perilaku dan respons atas kebijakan-kebijakan yang dinyatakan, atau usulan, gagasan, ide, lobby, sikap, jaringan yang tak elok, emotif, terkesan memaksa, tak tahu malu atau malu-malu kucing, hingga beralasan misalnya politik di tingkat elit kita masih kelas “Kampungan”, belum elok, dan belum matang berada dalam ranah demokrasi sebagaimana menurut cita-cita dalam konstitusi republik kita.

Yang pasti, kita dihenyak oleh nilai-nilai utama yang kita anut, dari agama, moral bangsa dan kemanusiaan. Semuanya pasti berbicara bahwa kita tidak keruan dalam soal mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Mari kita renungkan.
Mungkinkah karena kekeroposan moral yang terjadi dalam perilaku dan sikap , misalnya “politik” kita tersebut menjadi hasutan bagi enggannya lingkungan dan alam terhadap kita?, Bahkan Tuhan terhadap kita.

Semua itu logis kok, bila kekeroposan nilai dan moral yang dianut semua manusia di Indonesia, yang nyata-nyatanya sebagai pengelola alam dan lingkungannya yang dilakukan secara membabi buta, tak bermoral, rakus, tidak CSR, korup, exploitator dsb. mendatangkan “bala” dan bencana. Meski, doa dipanjatkan setiap hari, zikir di ucapkan bahkan Pengampunan Masal dilakukan oleh semua organisasi setiap hari, bila manusia-manusia Toxid(racun) masih bertebaran di muka bumi Indonesia, maka kerusakan itu tetap nyata. Terkesan Tuhan meninggalkan kita.

Olehnya, Style politik Indonesia, mengaca pada konflik Zainal dgn SBY, sebetulnya menjadi sebentuk gambaran me-nasional politik dan peradaban kita di Indonesia serta menyimpan misteri yang masuk akal atas kerusakan moralitas bangsa, alam dan lingkungan hingga kengganan Tuhan memenuhi do’a kita.. Mungkinkah?

Tawaran sederhana
Tawaran saya yang paling sederhana menyikapi remeh temeh soal ke”busyet” an kepolitikan kita adalah :
Pertama, berbuat baik kepada sesama, dengan tidak pernah menganggap kitalah yang paling baik dalam lakon kebaikan hidup di muka bumi ini.
Kedua, Segala perbuatan kita, hendaknya di diabdikan pada kebaikan umat manusia Indonesia dan dunia , dengan tetap memadu pada pengetahuan, program dan sikap atas keseimbangan terhadap alam dan lingkungan. Dengan memperjuangan atas sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan lingkungan.
Ketiga, Menjadi teladan utama dan pertama atas “sapu bersih” kemungkaran di bumi Indonesia bahkan dunia, sampai ke akar-akarnya. Tentu dengan cara yang paling sederhana dalam perilaku keseharian dan terprogram atas relasi-relasi politik dan ekonomi yang kita lakukan, termasuk atas evaluasi semua kebijakan yang rada-rada mengarah kepada penitsbatan dan pemutakhiran kemungkaran, khususnya di bumi pertiwi.

Saran saya, bagi mereka berdua, hendaknya legowo dan menyelesaikan persoalannya dengan kultur kita, dengan memprioritaskan moral dan etika politik yang sama-sama kita anut. Marilah yang namanya Fitnah tidak menjadi komoditi politik dalam relasi-relasi konflik politik kita. Manajemen konflik dengan pengedepanan moral dan etika politik dari sisi kultur asia bahkan bilamana harus di tambah dengan nilai-nilai keagamaan yang kita anut, pasti bilamana kita yakin dan konsekuen, mendatangkan hasil yang baik, dan dapat menjadi sebuah langkah yang terkonstruksi bagi bangunan politik demokrasi Indonesia yang kita idamkan bersama.
Responsi dari sisi SBY sendiri, dan sekelilingnya tidak lagi reaktif atau ultra reaktif, tetapi dgn pengutamaan moralitas dan etika politik yang saya tawarkan di atas dapat menjamin kelangsungan bangunan politik Indobnesia yang kita cita-citakan bersama pula.

Akhirnya, untuk sebuah penyelesaian dan pembangunan nilai dan etika politik demokrasi yang kita idamkan bersama, dapat terbangun dengan sendirinya dari keyakinan, atas nilai, sikap dan perilaku serta hubungan-hubungan harmonis atas dasar nilai-nilai yang kita anut itu dengan konsekuen dan terprogram. Dari sisi struktur kekuasaan dapat menjadi lakon terprogam dan terencana serta terpengaruh bagi program pembangunan karakter dan perilaku sumber daya Indonesia dan warganya, sehingga dari sisi kultur, dapat menjadi modal dan asset yang sangat berharga bagi tujuan dan cita-cita demokrasi Indonesia yang kita idam-idamkan bersama.

Kamis, 26 Juli 2007

LEE KUAN YEU DAN INDONESIA

Hampir seperti Soeharto, mantan penguasa Singapura tersebut berkuasa sekitar tiga puluhan tahun di negeri tersebut. Tentu persentuhan politik regional dengan Indonesia banyak terjadi di era kepemimpinan beliau. Yang membedakan, beliau berhasil membawa kesuksesan bagi Singapura, hingga beliau lengser masih bisa menjadi menteri senior atau mentor bagi menteri-menteri yang ada di pemerintahan Singapura. Sedangkan Soeharto, lengser dipaksa dgn keadaan ekonomi politik sosial yg keropos dan menimbulkan reformasi besar-besaran di era kepemimpinannya.
Lee kuan Yeu menjadi teladan bagi kepemimpinan Singapura, sedangkan Soeharto menjadi bulan-bulanan bagi pegiat demokrasi di Indonesia.

Kedatangan Lee ke Indonesia, hendaknya tidak di tengarai sebagai lobby informal Singapura sehubungan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) dan Ekstradisi Indonesia dengan Singapura., demikian dikatakan oleh mantan Menlu Ali Alatas beberapa waktu lalu. Sekalipun demikian, Lee pasti punya efek politik bagi kebijakan pemerintahan di Indonesia, mesti beliau tidak punya alasan mencampuri permasalahan internal pemerintahan Indonesia. Sinyalemen tersebut telah juga disampaikan kemarin saat berbicara dihadapan Wapres Yusuf Kalla, yang juga sempat mengujinya.

Tetapi beberapa catatan penting kedatangannya ke Indonesia (yang menurut Kalla regular dilakukan) sbb :
Pertama, Lee, sebagai bagian dari pemerintahan Singapura adalah menteri senior/mentor pasti memiliki kepentingan politik (mesti diingkar tidak melakukan lobby informal) terhadap Indonesia. Yang pasti, dengan hitung-hitungan untung ruginya DCA yang ditanda tangani pemerintah, beberapa waktu lalu oleh DPR maupun para pakar menyampaikan bahwa lebih menguntungkan pihak Singapura dibandingkan Indonesia.

Hadirnya lee, paling tidak, mau menggunakan pamornya yg masih ada di Indonesia demi keberhasilan DCA itu dijalankan, karena kehadiran Lee, pasti menjadi penanda bahwa kepentingan DCA tidak melulu militer regional bahkan lebih dari pada itu.

Kedua, Mampatnya hubungan pemerintahan SBY dengan DPR akibat DCA tersebut membutuhkan ketegasan sikap Singapura di tingkat lobby Informal, itu di perankan oleh Lee.

Dengannya bisa dibaca, bahwa Singapura sangat berkepentingan atas berjalannya DCA tersebut dgn hitung-hitungan keuntungan DCA bagi Singapura lebih dari pada Indonesia, dimana daya tawar bagi ruang dan infrastruktur yang dapat digunakan secara bersama hingga 20 tahun nanti dimilki Indonesia, atau berharap kembalinya uang hasil korup dari perjanjian Ekstradisi sangatlah minim terjadi , dibandingkan Singapura yang menguasai raja-raja telekomunikasi di Indonesia, pasti mampu memahami potensi ekonomi Riau yang kaya, bahkan Indonesia, dan tentu saja dapat mendukung beberapa kebijakan pemerintahannya, misalnya kebutuhan perluasan pulau dgn kedok pelatihan militer di wilayah pengembangannya. Belum lagi, bilamana efek ekonomi dan sosial masyarakat setempat . Bisa kah, pemerintahan kita memikirkan kembali masak-masak perjanjian kerja sama tersebut, tanpa terpengaruhi oleh move-move politik luar negeri Singapura lewat Lee, misalnya. Wallahu a’lam.

Selasa, 24 Juli 2007

PASCA ANTHONY...., LALU APA???



Sejenak kita renungkan apa yang telah diberikan beberapa minggu yang lalu, di akhir mei 2007, kita di training, di charging aspek emosi kita secara intelek… Pada pokoknya kita di latih memenej emosi secara intelek demi keberhasilan leadership ideal yang efektif bagi perusahaan. Saya kira mungkin itu target perusahaan, yg repot-repot membiayai pelatihan leadership di hotel megah selama tiga hari.
Selanjutnya apa yang mesti kita petik???.. pasti pelajaran… tetapi apa pelajaran itu hanya sampe kita hafalin, trus di simpan di loker kita atau sejenak kita terlupa . Ibarat baterai handphone, abis charger tinggal tunggu berapa hari lagi pasti baterainya abis….

Ataukah, dia bisa berbekas, laksana tapak kaki Imam Bonjol yang sering sholat di salah satu batu di lereng sungai Pineleng dekat kuburannya, yang hingga kini masih berbekas.

Karena, pasti dari HR Excellent “connecting” ke divisi SDM HO, akan tetap memonitoring peserta training ke depan pasca di training, sehingga mereka bisa mengevaluasi, mendata keberhasilan-keberhasilan atau ketidakberhasilan-ketidakberhasilan dari training yang mereka lakukan. Tetapi itukan kerjaan pihak manajemen SDM dan trainer. Trus untuk kita, pasca Anthony, apa yang harus berlaku dalam kiat kerja kita, bahkan dalam hidup kita : prestasi, pergaulan, intelektualitas, kesuksesan, karier dan sebagainya.

Beberapa catatan pasca Anthony, menurut saya sbb :
1. Pada pokoknya nilai-nilai yang disampaikan di pelatihan HR Excellent tersebut adalah nilai-nilai utama yang kita semua sudah sangat tahu, cuman kemampuan mereka mereview, refresh kembali nilai-nilai tersebut sehingga kita tersadar menggunakan nilai-nilai utama tersebut pada posisi dan porsi yang termanej dgn target yang jelas dan intelek.
2. Kemampuan merepresentasi dan membawa mentality tiap peserta trainer bagi kesadaran kiat kerja keseharian di kantor serta kemampuan memenej komunikasi emosi yang cerdas bagi pergaulan dan pelayanan sebagaimana kita sebagai aparat di kantor dan kita sebagai leader.
3. Ketololan kita dlm mengelola emosi tersadar, sehingga di latih memenej emosi secara intelek.
4. Pelatihan tersebut mesti membekas bilamana di pateri pada pola kerja dan kiat kerja kita yang pada intinya “kemampuan mengelola emosi secara cerdas” bahsanya Anthony : “be emotionally intelegency”.
5. Teori, semangat dan spirit pelatihan dapat terlaksana dalam keseharian perilaku hidup kita, apapun itu.

Nampaknya, keberhasilan training Anthony, memang sangat ditentukan pada pribadi-pribadi kita yg komit dan consistent untuk merevolusi paradigma dasar prinsip dan nilai hidup kita, merehabilitasi style perilaku kehidupan kita dari yg buruk menjadi baik dan produktif, dan merekonstruksi kembali nilai-nilai baik yang produktif dan efektif bagi pribadi, kerja, karier dan orang banyak. Mungkin inilah sedikit yang perlu kita ambil pasca di latih Anthony….. viva HR Excellent…. (So, setelah Anthony, bisakah kita berubah!)

Jumat, 13 Juli 2007

REFLEKSI SYARIKAT YANG LURUH

By. Rahmat Adam
(pemerhati Syarikat Islam)

Kesenyapan politik Syarikat (SI) dalam kegenitan politik pada umumnya, menyulut semangat kesejarahan yg bisa dipastikan lebih romantis ketimbang ideologis. Romantisme politik SI, lebih kepada pengingatan sejarah seiring kehilangan momentum bagi ruang dan karakter kekinian politik bangsa ketimbang hasil ideologisasi yang sinambung dan berkelanjutan bagi sejarah perjuangan yang awalnya berkomitmen pada tendensi ekonomi kebangsaan dan keummatan serta perjuangan politik.

Memang, sejarah INDONESIA mestinya adalah sejarah SYARIKAT ISLAM. Entah dia harus berwujud organisasi kemasyarakan atau memutar kendali ke ranah politik praktis bahkan hingga metamorfosanya ke semua lini politik dan ormas kebangsaan dan keummatan . Kesimpulan Ideologisnya pasti berakhir pada peranan Syarikat Islam sebagai cikal bakal penentu kendali perjuangan, bersamaan dengan dinamika perjuangan politik kebangsaan dan keummatannya. Hanya saja kenapa harus luruh?

Cita-cita Haji Oemar Said Tjokroaminoto seakan tak diambil pusing oleh pegiat politik dan pegiat ideologis Indonesia kini. Kalaupun ada , hadirnya Syarikat Islam, lebih pada ranah perebutan sisa-sisa kue politik setelah dilumat oleh kakap-kakap politik. Lebihnya, hanyalah sekedar pengingatan dan seremonial akan ormas besar di awal abad beserta sekian pegiat-pegiat tua dan masyarakat muda yang buta atas ideology yang mesti diperjuangkannya itu.

Kemanakah Pergi
Rimba politik dan sosial kekinian, memaparkan wajah politik dan sosial Indonesia seakan habis dilumat oleh semua elemen politik hasil metamorfosanya. Realitas ke SI-an tinggallah sejarah atau benih-benih sejarah yang biasanya tertulis atau mungkin tidak tertulis dalam hampir semua organisasi massa atau politik besar Indonesia. Bahkan dalam kurun setengah abad terakhir Syarikat Islam tidak menelurkan kader handal dan Ideologis sebagai pejuang mumpuni laiknya tokoh-tokoh NU atau MUHAMMADIYAH. Seakan kader yang lahir dari rahim ormas ini lebih mewujud pada broker politik daripada pegiat ideologis atau yang benar-benar berjuang demi visi, misi dan trilogi perjuangannya. Relatif, SI tidak menelorkan satu kaderpun. Kalaupun klaim itu ada, pasti hanya berurusan dengan zigzag politik atau temurun moyang sepuh Syarikat. Maka tidak heran paradigma ke SI-an tidak mewujud dalam karakter andal kader-kader yang katanya bermetamorfosis ke ranah ormas dan lembaga-lembaga politik lainnya. Kenyataannya, Syarikat Islam tinggal nama beserta romantika pergunjingan sejarah, lewat lembaga atau organisasi Syarikat Islam sebagai tempat untuk memenuhi dahaga romantika SI, baik oleh pegiat-pegiat tua atau temurun moyang sepuhnya.

Beberapa Langkah
Syarikat Islam sebagai elemen penting dalam kepolitikan, keummatan dan kebangsaan Indonesia dengan melihat kondisi kronisnya ini, mestinya harus khittah total untuk kembali pada semangat dasar dan misi perjuangannya. Itu hal pertama yang perlu dilakukan, Khittah total dimaksud berurusan dengan paradigma dan kultur.
Trilogi yang dikenal dengan setinggi-tinggi tauhid, secerdik-cerdik siasat dan semahir-mahirnya Ilmu tidak lagi cuman beurusan dgn tata retorika dalam pidato-pidato keorganisasian, tetapi mestinya menjadi perumusan Intelektual yang cerdas sehingga terbantu pada keadaan kultur yang mumpuni bagi aktivitas ke SI-an.
Kedua, Syarikat Islam sebagai organisasi masyarakat yang kampiun dalam sejarahnya, harus empatik dengan situasi dan kondisi kemasyarakatan. Sebagaimana kita semua tahu, kader-kader SI yang biasanya menjalar di pasar-pasar kecil, mestinya lebih mengarah ke respons kemasyarakatan yang lebih cerdas, terstruktur dan empatik bagi pemenuhan perjuangan masyarakat, khususnya bagi konsolidasi sektor informal.
Isu-isu ekonomi dan kerakyatan mesti diambil alih oleh organisasi bagi penciptaan solusi dan penggerak roda sektor UKM dan masyarakat Muslim pinggiran, dan kalau perlu harus mereposisi bagi perannya ke semua sektor informal ekonomi masyarakatt kecil, menengah ke bawah lainnya (nelayan, tani dsb ). Jujur kita akui, bahwa Syarikat Islam relatif tidak berdaya sama sekali dalam lakon dan solusi di lini ini.
Ketiga, Peran politik sebagai representasi semahir-mahir siasat ( Amien Rais menyebutnya “ High Politic”)bagi pengabdian sepenuhnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat khususnya masyarakat Muslim. Konon, kesan kepintaran kader-kader SI dalam zigzag kepolitikan dalam rimba politik Indonesia lebih mewujud sebagai broker politik daripada “pandhita” politik. Lebih keliatan “rubah” daripada “orang arif”. Tentu dengan target organisasi dan etis pribadi bagi pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, keummatan dan kebangsaan Indonesia.

Bagi saya tiga hal diatas cukup berat memang kita lakukan, berhubung kondisi kekinian Syarikat Islam yang memilukan, yang pasti kalau tidak mau hanya dikenang sejarah, tiga hal itu lah yang perlu kita lakukan dengan konsisten dan tendensi penuh bagi pemenuhan materiil kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, ummat dan bangsa, dilandasi pemenuhan spiritual bagi setinggi-tingginya Tauhid yakni pengabdian tulus Lillah Ta’ala (hanya karena Allah SWT) semata(QS: Ar-ra’du : 11).

Inilah catatan kecil bagi pemenuhan peran yang lebih signifikan SI ke depan, hingga luruhnya Syarikat bisa berarti masa berbenah yang tidak lengah dan lunglai, tetapi justeru perapatan barisan kultural bagi pemenuhan capaian trilogy misi Syarikat, hingga akhirnya tujuan yang kita inginkan bagi keummatan dan kebangsaan Indonesia dapat tercapai. (Viva Adhan dkk bagi tugas yang berat ini )
Wallahu fie sabilil Haq

KESEDERHANAAN MEMAHAMI MANAJEMEN


Kejenuhan dengan beban target yang tak kunjung terealisasi sebagaimana diharapkan, mestinya direspons dengan relaksasi manajemen pemasaran ..dengan konsentrasi utama pada pendapatan.

Bagaimanapun metode yang akan dipakai, apapun penjelasan ttg “marketing”. Kalau semuanya diarahkan dan ditekankan pada semangat kejar setoran (beban target) maka yang terjadi adalah ketergesa-gesaan dan kinerja orang-orang setress….

Mestiya, kesemuanya direlaksasi dalam dan konteks kesahajaan atau kesederhanaan, sehingga perilaku manajemen pemasaran akan terarah ke kondisi yang menyenangkan.

Paling tidak, menurut saya ada beberapa hal sederhana yang mesti kita jadikan panduan dalam memenej “marketing’ keagenan demi tertunjangnya sasaran dan target perusahaan, khususnya Gorontalo BO. Sbb:
1). Dalam menentuan business plan agency, lebih diarahkan kepada konsentrasi rencana pendapatan daripada kalkulasi target, yang selebihnya hanya menjadi momok beban yang menakutkan (selalu) bagi aparat pemasaran.
2). Kesederhanaan metode pemasaran hingga pada unit produksi masing-masing. Realisasi metode pemasaran yg sederhana ini, hanya berlaku untuk element-element sederhana sbb : planning, organizing, actuating dan controlling. Atau kalau secara sederhana kita menyimak Pola Keagenan, adalah P3T, disamping memastikan masing-masing aparat mngetahui target masing-masingnya. Itu saja, yang perlu di benahi.
3). Refresh dengan motif-motif dan semangat yang didasarkan atas dalil-dalil keagamaan, sehingga aparat pemasaran lebih termotivasi. Sentuhan dengan spirit atau semangat religius banyak membuktikan keseriusan dan semangat kerja aparat.

Demikian, beberapa refresh pemikiran. Untuk selajutnya tergantung kita semua dalam meniti manajemen pemasaran yang semakin baik. Pepatah Jepang : Visi tanpa tindakan nyata adalah mimpi di siang bolong, Tindakan tanpa visi adalah malapetaka. Mari kita simak baik-baik pepatah tersebut. Terima kasih.
(maaf postingnya telat, gambarnya pas di makassar ma teman2)

Gtlo, 20 Pebruari 2007

Jumat, 29 Juni 2007

IT'S My Wife! NOT...Child....



Yeaah...cuman negasin aja..ini pas lagi jalan sehat barengan ..pas acaranya telkomsel kemaren. Bersama istri, teman dan anak tetangga..yah anak tetangga. Si Danis yg nakal tuh .. dipeluk mah gw sampe bekeringat lho! Itung-itung, buat sehatnya istriku yg lagi hamil tiga bulanan tuh. Insya Allah, anakku sehat-sehat saja hingga ia lahir..heheh.

(To My Wife ... visit this site, and pick for u'r friends!!! )



MATTOSCORPION



Hi..... ini blog ku yang baru lho.

Pingin tahu kenapa namanya mattoscorpion, karena aku mengidolakan bintangku, yang pendiam, terkesan intelek, tapi gak bisa di ganggu. Kalo di ganggu, bisa aja lebih mematikan...heheh.

Tapi, tidak gitu kok. Hanya senang aja namanya.

Sebab, kalo aku make mattobebek kan lucu dengernya. kayak motor aja!

Scorpion menyenangkan lebih karena umunmya orang yang lahir-lahir di bulan ini dalam rasi bintang ini, intelek, cakep 'n agresif. Banyak kok seleb yg lahir di bintang ini. Tapi aku bukan seleb kok!.