Rabu, 24 September 2008

TENTANG ISU EKONOMI.....

Sebuah jejaring maya ekonomi di sektor finansial, adalah penentu jatuh bangunnya perusahaan, utamanya yang MNC. Tidak lagi, dihenyak pada sektor padat modal seperti misalnya manufaktur. Karena laps atau keberhasilan perusahaan di sektor ini, lebih terbatas pada soal-soal fisik ekonomi seperti pabrik, buruh, mesin dsb. Bila bangkrut tutup pabrik, PHK, jual aset, sudah. Dan itu terbatas pada wilayah tersebut.

Dalam sektor finansial, khususnya MNC, keberhasilan atau kebangkrutan perusahaan ditentukan oleh transaksi maya dalam jejaring ekonomi global, stasiunnya lewat pasar-pasar dan bursa-bursa saham, global, regional maupun nasional. Produknya, biasanya utang, selain saham.

Dari pikiran ini, kita bisa memahami bangkrutnya Lehman Brother baru-baru ini
karena terlampau liar dalam berinvestasi pada produk –produk maya tersebut, karena terlampau maya, kita lupa realitas ekonomi sebenarnya. Yang terjadi adalah sebuah koreksi pada mimpi yang menjadi produk tersebut. Pada neraca-neraca mereka disebut sebagai aset yang bernilai padahal tidak, belum lagi keliaran ini dilakukan hampir sepenuhnya oleh semua komponen di bursa tersebut, dan bahkan melatah di semua bursa dunia. Maka, kemudian kepercayaan menjadi taruhan bagi segenap perbankan investasi besar di negeri Paman Sam ini. Setelah Bearn Stern di akuisisi JP Morgan, lewat injeksi pemerintah, Meryll Lynch di akusisi oleh Bank Of Amerika dan Fanny Mae serta Freddy Mac di bantu abis-abisan oleh pemerintah, tinggal Golden Sach dan Morgan stanley, raksasa bank investasi yang masih kokoh berdiri, mereka juga terancam. Begitu kata para pengamat.
Tak usah kita tanya kenapa Lehman tidak dibantu!, toh ada isu yang menarik karena Lehman 70 % bantuannya bagi kampanye Demokrat ketimbang Republik yang menjadi penguasa Paman Sam sekarang ini.

Isu atau kejadian yang terjadi pada sumbu ekonomi global utama ini, pasti meriak ke seberang negara . Inggris, Eropa, Rusia, bahkan Thailand. Di sinyalir akan meliuk juga ke Asia Tenggara. Naiknya IHSG, minggu barusan ,menandakan banyak investor asing yang membeli surat-surat berharga di Indonesia, yang memang belum memiliki aturan pembatasan Short Selling, sebelum sesudahnya US, menerapkan pembatasan atau pelarangan untuk melakukan Short Selling bagi 766 saham di sana.

Yang jadi pikiran saya, bilakah pengaruh ini bisa terjadi di Indonesia minimal hingga Desember 2008, atau bahkan memasuki periode Pemilu tahun 2009?

Mungkin ada beberapa yang menjadi catatan menurut saya pengaruhnya. Pertama, aksi Short Selling pasti akan membludak di bursa kita, bila regulator tidak secepatnya menerapkan aturan yang membatasi, yang pengaruhnya bisa tiba-tiba pada moneter dan inflasi. Kinerja BI kerjasama dengan kementerian keuangan dan ekonomi kita perlu secara cerdas memaknai gejala akhir-akhir ini.
Kedua, Faktor inflasi masih menjadi borok yang membahayakan (bulan agustus inflasi 0,52%, januari s/d agustus 9,4 %; Year On Year Agustus 2007-Agustus 2008 sudah mencapai 11,85%) bila faktor moneter—rupiah sempat menyentuh angka di atas 9400-an, sebelum terakhir kemarin menguat di angka 9300-an --- tidak kita kendalikan sebaik mungkin, mengingat ramadhan dan lebaran yang sementara dihadapi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ketiga, Ekspor kita kekurangan pasar. Kalo Amerika dan Eropa sebagai negara tujuan ekspor peringkat atas, khususnya produk manufaktur seperti TPT dan alas kaki, yang bisa mencapai 45 % dari total eksport, yang dirudung masalah kredit macet, dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan di sana, PHK, dan turunnya kemampuan daya beli masyarakat di sana, ini menjadi masalah bagi penerimaan dari sisi ekspor kita, berarti kita perlu sedini mungkin melihat pasar baru ke Timur Tengah atau Afrika misalnya., guna menyelamatkan target eksport.
Keempat, realisasi anggaran belanja yang belum sesuai target APBN P 2008.
Kelima, Karena peristiwa Lehman dan krisis subprime mortgage di Amerika ini, bertali temali secara global, tentu dan pasti pengaruhnya bagi kondisi stabilitas investasi kita di tanah air. Paling tidak ini ditengarai oleh mantan Menteri Ekonomi era Gus Dur, Rizal Ramli.

Dari beberapa catatan itu, isu ekonomi ini pasti sangat rentan dengan gemuruh politik kita. Tergantung bagaimana kita memaknai dan mensikapinya.

Sepuluh tahunan lampau hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pembangunan ekonomi yang kita lakukan. Apakah bisa meleset menjadi krisis tahap II bagi kita di Indonesia?, waktu dan sikap serta kebijaksanaan kita lah yang dapat menjawabnya. Toh, signal-signal telah di papar.
Sekedar informasi, krisis ambruknya perusahaan-perusahaan besar di Amerika sekarang ini, lebih hebat daripada kejadian depresi tahun 1930-an, dimana John Maynard Keynes populer dengan solusi ekonominya. Kita tidak tahu , resep ekonomi politik apa yang akan dilakukan Ben Bernanke dan Henry Paulson. Yang pasti penggerak-penggerak fundamentalisme pasar ini telah mulai mengingkari perjuangan ideologi ekonominya alias intervensi. Terakhir, ada koalisi bank-bank sentral di Amerika, Eropa, Inggris dll untuk menginjeksi/mengintervensi pasar demi keselamatan likuiditas ekonominya.
I
Katrol ekonomi sebuah negara, khususnya Indonesia dalam dasawarsa terakhir ditunjukkan pada variabel volume konsumsi. Bilakah gejala global tersebut diatas pelan dan pasti memasuki di sektor ini. Minimal, pintu pengaruhnya itu lewat eksport import dan investasi. Setelah sesudahnya mungkin kalau tak hati-hati mempengaruhi moneter dan inflasi kita. Dan bilamana hal itu terjadi, maka pasti akan tergerus pada target pertumbuhan di tahun ini, atau maksimal di tahun 2009 nanti. Di saat fokus dan keringat kita meleleh-leleh dengan pesta demokrasi.

Secara politik, bila kita mencerna, keributannya di mulai dengan soal dan isu ekonomi. Coba perhatikan Soekarno, Soeharto, atau coba kita tengok ke Thailand, mulai Thaksin, Samak hingga Somchai sekarang ini. Karena, terang saja, bahwa komoditi isu ekonomi adalah komoditas politik penting bagi proses demokrasi.