Selasa, 13 November 2007

CATATAN KECIL NOVEMBER DAN TAWARAN SEDERHANA

Dua yang menyakitkan
Dua hal yang menyakitkan di baca, di dengar dan disaksikan tentang kondisi penegakan hukum bagi republik belum lama ini, pertama: bebasnya Adelin Lis, konglomerat kayu di daerah Sumatera Utara, yang diputusbebaskan oleh PN Medan beberapa waktu lalu, padahal disinyalir menyimpan misteri illegal logging di daerah tersebut, Tak disangka Menhut M.S. Ka’ban disinyalir sebagai pihak eksekutif yang turut mempengaruhi keputusan hakim membebaskan Adelin Lis, padahal untuk penyelidikan berikut polisi juga mencium bau money laudering di kasusnya tersebut, perlu juga diketahui bahwa Adelin Lis, setelah susah payah dicari akhirnya di tangkap di KBRI China pada saat mengurus pasportnya. Sebuah usaha yang sia-sia bagi penegakan hukum, karena setelah ditangkap, diadili, tetapi pada akhirnya di lepas lagi. Terakhir, kuasa hukum Hotman Paris Hutapea(13/11/2007) mensinyalir bahwa Adelin Lis, tidak akan ke Indonesia, dengan alasan buruknya penegakan hukum di negeri ini.

Kedua , Arus uang panas dari BI atau dari YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia) pada kurun periode 1999- 2004, sebesar 100 miliar lebih, menyangkut urusan mengiringi para mantan-mantan Direktur dan alumni BI dalam berurusan dgn hukum, karena BLBI. Arus uang itu sebagian ke para penegak hukum, dan sebagian lagi ke kantung para wakil rakyat di gedung Senayan. Yang pasti, Yayasan yang maksud berdirinya untuk sektor pendidikan, membiayai hal semacam ini menjadi pertanyaan yang membingungkan, apalagi dalam neraca BI, untuk urusan konsultasi hukum dan yang ada hubungannnya dgn firma atau kantor hukum sudah tertera pengeluarannya diatas 10 milliar. Kita menunggu bola liar BI ini, yang sekarang sudah berada di KPK.

Tak tahulah, apa lagi yang akan tersuguh beberapa waktu ke depan. Apakah, ini semacam keberhasilan usaha menegakkan hukum, dengan cara membeberkan borok-borok semacam tadi, ataukah semacam rumusan dan skenario politik menuju 2009. Yang pasti riuhnya gemuruh korupsi di Indonesia ini, masih seiring dengan ancaman global, semacam Imported inflation, harga minyak yang masing membumbung, (terakhir tidak mampunya target produksi 960.000 barel per hari atau menurut APBN P sebesar 1.046 Juta barel per hari di Indonesia, yang berarti akan menyisakan masalah pada subsidi), terpukulnya dollar dan ekonomi Amerika serikat, serta koreksi asumsi IMF bagi pertumbuhan ekonomi dunia, dari 5,2 % menjadi 4,8 %. Disisi lain, pemerintah masih cukup optimis merespons ancaman resesi global tersebut, dengan tidak akan menaikkan harga minyak sampai dengan pemilu nanti, tanpa juga realistis memperhatikan harga-harga yang mulai terkatrol akibat Imported inflation , sembari tetap berkutat pada inflasi tahun ini pada limit 6, plus minus 1-5 persen hingga akhir desember nanti.


Realitas ini, ibarat kita bermain bola api, salah nembak kaki pasti terbakar. Kucing-kucingan kebijakan dengan arah demi kepentingan jangka pendek, dan hanya untuk kelompok, pasti akan menginvest masalah yang lebih dasyat, baik lokal, nasional, regional bahkan global. Maka. Tidak usah susah-susah Juwono mati-matian memperjuangkan RUU Komponen Cadangan, atau Kalla sibuk berwacana tentang metode pemilihan yang diusulnya pake tulisan tangan, atau SBY yang rada-rada reaktif atas kritikan para Seniornya, atau Rizal Ramli yang sibuk membangkitkan lokomotif “Incumbent”. Toh, masalah besar, yang menjadi agenda besar pemerintah yang terpilih belum mencerminkan keberhasilan yang memadai. Pro Job…. Pro Poor,???

Mengapa sih, kita tidak memiliki sebuah usaha besar semacam master plan pembangunan untuk sektor-sektor yang menjadi fokus. Untuk urusan politik, mungkin kita sudah cukup berhasil, bahkan masih menyisakan proses transisi yang menurut Ketua Asosiasi Konsultasi Politik Internasional pada saat kongres kemaren, mengagumkan, bahkan dapat menjadi pilot project demokrasi di Asia, bahkan presiden SBY sendiri di anugerahi Medali Demokrasi segala.

Yang menjadi masalah sebagai sebuah Master plan pembangunan adalah ekonomi. Usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi memang pernah disinyalir Huntington, tidak bisa imbang dengan urusan demokrasi politik, tetapi itu urusan kajian sosio historisnya Huntington. Toh, meskipun belum memadai kita masih bisa sempat mengatrol ekonomi Indonesia di atas 6 %.
Justeru yang jadi masalah, adalah kok pertumbuhan sebesar itu tidak berdampak pada beberapa fokus pembangunan pemerintahan SBY, semacam kemiskinan dan ketenaga kerjaan./ pengangguran di Indonesia.
Untuk itu, kayaknya masterplan pembangunan ekonomi memang harus berfokus dan tentu, memiliki dampak yang riil bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Disamping kita berusaha tetap bahu-membahu di semua lini ekonomi tersebut.

Tawaran Sederhana
Tawaran sederhana saya, gimana kalo fokus pembangunan dalam lima tahun ke depan lebih diarahkan ke sektor pertanian, dan infrastruktur. Untuk sektor pertanian, yang mungkin dapat menyerap tenaga kerja sampai 90 % pasti dengan sendirinya dapat mengatrol pertumbuhan konsumsi, yang pada akhirnya mengatrol pertumbuhan ekonomi.

Disisi lain, bukankah dengan wacana lingkungan, perbaikan iklim serta recovery energi dari emas hitam(minyak) ke energi nabati, merupakan peluang bagi kita sebagai negara agraris, disamping itu krisis kredit di sektor agraris maupun kurangnya fokus pembangunan di sektor ini menyisakan masalah pada sub sektor proses dan hasil produksi, dari harga gabah, beras, gula, pala yang tidak sesuai dengan target produksi menjadikan kita sebagai negara importir, atau kalaupun menjadi negara eksportir, tetapi kalah bersaing di tingkat global. Rasanya diperlukan renungan yang menghunjam dan kritis, untuk memateri kekuatan atas langkah-langkah kebijakan ekonomi yang terstruktur, fokus dan terarah, minimal dalam 5 tahun ke depan sekarang ini. Sehingga, dengan fokus pembangunan di sektor ini, pasti memberi pelajaran berharga pada orang-orang semacam Adelin Lis, Ahmad Pakaya, atau yang lainnya.
Kita harus cemburu kepada George Soros, yang jauh-jauh dari eropa, membangun kebun sawit di Aceh. Bukan apa-apa, tetapi seorang pejudi bursa sekaliber dia masih menyisakan pikiran bagi pembangunan di sektor pertanian ini.

Kedua, sektor infrastruktur sangat dibutuhkan bagi pemenuhan jalur distribusi produksi semua sektor ekonomi. Sektor ini, ibarat katup pembuka bagi tumbuhnya ekonomi riil. Tentu saja fokus sektor infrastruktur harus sinergik dengan sektor lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Tanpa infrastruktur yang memadai bagaimana mungkin nadi ekonomi akan jalan. Akses pasar dan distribusi dapat menjangkau, sehingga kompetitif, dan konsumsi dapat tumbuh sesuai target. Bukankah masalah di kita setiap kali investor asing
mulai berinvest di Indonesia adalah kurang memadainya infrastruktur. Tetapi, sekali lagi, sinergitas dengan aspek sosial dan lingkungan harus menjadi prioritas lebih dahulu, ketimbang ekonomi, pasti akan memadai bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, merata, dan kuat.


Secara politik, tentu dengan good will semua pihak bagi katrol pertumbuhan ekonomi, yang berarti memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran dapat menjadi modal sosial politik yang “high” ketimbang memikirkan kursi panas menjelang tiap momentum . Bukan apa-apa, tetapi ini adalah satu masalah krusial wacana para elit pemegang kendali bangsa ini.
Untuk, karena energi yang tersedot pada kepentingan berjangka pendek tersebut, di tambah pada pembangunan yang belum terarah dan fokus, apalagi dengan grasak-grusuk korupsi di hampir semua lembaga kenegaraan, memberi cermin atas kelemahan pengelolaan Negara dari pusat hingga daerah. Padahal dalam hal memperkuat pengelolaan, setidaknya kita berfokus , misalnya pada penegakaan hukum atau dalam urusan pembangunan pada sektor pertanian dan Infranstruktur. (disamping kita memperkecualikan wacana system kenegaraan). Wallahu a’lam.