Jumat, 23 Mei 2008

PADA AKHIRNYA BBM NAIK......

Akhir tahun 2007, mesti sudah bergejala minyak mulai meliar dalam harga per barelnya, membuat SBY dan pemerintahannya bersikukuh untuk tidak menaikan harga, karena di saat itu menurut pemerintah masih banyak opsi lain selain menaikkan. Oleh beberapa kalangan di sebut bahwa SBY melakukan janji kepada rakyat untuk tidak menaikkannya, bahkan Wiranto(mantan atasan langsung SBY) sampai harus mengiklankan diri menyangkut janji untuk tidak menaikan BBM ini.

Di awal 2008, Pemerintah mulai gerah karena harga minyak dunia semakin betul-betul liar(sudah mulai menembus di atas angka $ 100 per barel). Maka, muncullah opsi perubahan APBN 2008. Cukup radikal perubahannya. Dari opsi perubahan patokan harga minyak dari $ 60 menjadi $ 95 per barel hingga asumsi pertumbuhan dan inflasi, termasuk target produksi minyak per hari di tahun ini. Yang semula 917.000 menjadi 927.000 barel per hari. Hanya saja waktu itu, kita masih di henyak dengan kondisi bursa Amerika tentang krisis kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), dan yang tiba-tiba juga melindas pada harga pangan dan komoditi, untuk yang satu ini beberapa kalangan menyebut akibat pasokan pangan yang dipakai untuk industri biofuel dan bioetanol, sebagai alternatif energi yang mulai di manfaatkan oleh Negara-negara besar semacam Amerika. Karena Amerika merupakan produsen besar gandum dan kedelai, lantas harga-harga di seputar itu meroket, demikian juga turunannya.

Perlu diketahui, sewaktu ditelisik kepada OPEC tentang liarnya harga minyak yang membumbung, pasokan stabil bahkan berlebih, di lain sisi permintaan tidak seberapa membludak sehingga kenapa dapat menaikkan minyak?, makanya oleh OPEC tidak mau menambahkan produksinya. Kalau di awal-awal kenaikkannya harga minyak dunia orang menduga-duga karena kondisi di seputar konflik perbatasan antara tentara Turki dan suku kurdi Selatan Turki, atau kejadian di Norwegia yang mempengaruhi naiknya harga.
Maka Terakhir ini ada anggapan kongkalikong antara Bush dan lima raksasa minyak (Exxon, Chevron, Conoco , dan beberapa saya lupa menyebutnya), yang oleh salah satu analis amerika menyatakan berspekulasi pada pasar saham minyak yang pada hari ini melonjak menembus angka $ 137 per barel.



Memasuki Maret 2008 harga mulai sangat liar betul menembus angka diatas $ 120 per barel. Lantas, pemerintah sudah mulai linglung apa kiranya akan dilakukan. Sewaktu itu pemerintah mulai berwacana tentang bakal jebloknya anggaran(APBN P 2008) bilamana tidak secepatnya ada kebijakan yang meresponi liarnya harga minyak tersebut. Maka, mulailah langkah penghematan dilakukan. Semua anggaran pada departemen dan nondepartemen dipangkas sampai dengan 15 %, meski harus berjibaku dengan beberapa departemen. Tetapi, tentu belum cukup, maka di april akhir, mulailah opsi itu bergulir, …menaikkan BBM.

Memang simalakama buat pemerintah baik menaikan BBM atau tidak. Karena dua-duanya memberi problem akut bagi anggaran dan rakyat. Bila tidak dinaikkan, di sinyalir APBN bakal jebol, bahkan subsidi di prediksi bakal menembus angka di atas 200 trilyun atau hampir sepertiga dari anggaran belanja pemerintah, demikian kalkulatif makro ekonominya pada pertumbuhan, inflasi dan jumlah orang miskin yang menurut catatan menkeu diatas prediksi bila harga minyak tidak dinaikkan, dan subsidi lebih banyak dinikmati orang kaya (sebesar 20 % orang kaya menikmati 40 % subsidi dan 40 % orang miskin yang menikmati 10 % subsidi). Bukankah lebih baik, anggaran subsidi di berikan kepada orang miskin. Maka bergulirlah skenario oktober 2005, meski menggunakan data lama (19,1 juta) program dadakan ini dijalankan demi meloloskan kebijakan menaikan BBM. Dan, kemarin Jumat 23 Mei 2008, Bantuan Langsung Tunai mulai di berikan, bertepatan malamnya jam 00.00 pemerintah langsung menggulirkan kebijakan menaikkan BBM tersebut.


Suara-suara penolakan dari parlemen jalanan hingga senayan serasa angin lalu, yang buat pemerintah semacam divestasi ongkos politik dalam menghadapi pemilu 2009, tetapi toh, belum ada yang cukup solutif memberi jalan keluar bagi beratnya anggaran yang dirasa oleh pemerintah sekarang ini. Tapi tunggu dulu, saya tertarik dengan hitung-hitungan Kwik Kian Gie tentang subsidi, yang menurut Kwik pemerintah bahkan kelebihan uang tunai sampai dengan 82 trilyun rupiah, coba kita ambil salah satu hitungannya sbb :

Menteri Ani memberi angka-angka sebagai berikut. Lifting : 339,28 juta barrel per tahun Harga minyak mentah : US$ 95 per barrel Nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$ Penerimaan Migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun. Dari angka-angka tersebut dapat dihitung berapa hak bangsa Indonesia dari lifting dan berapa persen haknya perusahaan asing. Perhitungannya sebagai berikut. Hasil Lifting dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x Rp. 9.100 = Rp. 293,31 trilyun. Penerimaan Migas Indonesia : Rp. 203,54 trilyun. Ini sama dengan (203,54 : 293,31) x 100 % = 69,39%. Untuk mudahnya dalam perhitungan selanjutnya, kita bulatkan menjadi 70% yang menjadi hak bangsa Indonesia. Jadi dari sini dapat diketahui bahwa hasil lifting yang miliknya bangsa Indonesia sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya 339,28 juta barrel per tahunnya, milik bangsa Indonesia 70% dari 339,28 juta barrel atau 237,5 juta barrel per tahun. Berapa kebutuhan konsumsi BBM bangsa Indonesia? Banyak yang mengatakan 35,5 juta kiloliter per tahun. Tetapi ada yang mengatakan 60 juta kiloliter. Saya akan mengambil yang paling jelek, yaitu yang 60 juta kiloliter, sehingga konsumsi minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksinya. Produksi yang haknya bangsa Indonesia : 237,5 juta kiloliter. Konsumsinya 60 juta kiloliter. 1 barrel = 159 liter. Maka 60 juta kiloliter sama dengan 60.000.000.000 :159 = 377,36 juta barrel. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang dikatakan Menteri Ani tentang harga minyak mentah US$ 95 per barrel, saya ambil US$ 120 per barrel. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000 per US$”. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000 per US$”. Hasilnya seperti yang tertera dalam Tabel III, yaitu Pemerintah kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,71 trilyun, walaupun dihadapkan pada keharusan mengimpor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rakyatnya. Produksi minyak mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia 237,5 juta barrel. Konsumsinya 60 juta kiloliter yang sama dengan 377,36 juta barrel. Terjadi kekurangan sebesar 139,86 juta barrel yang harus dibeli dari pasar internasional dengan harga US$ 120 per barrelnya dan nilai tukar diambil Rp. 10.000 per US$. Toh masih kelebihan uang tunai (sumber tulisan dari www.koraninternet.com)

Coba kita pikirkan bersama. Nah lho!!