Senin, 20 April 2009

NARSISME POLITIK

Sepuluh tahunan lewat pasca reformasi politik Indonesia, menguat kepada dua hal . pertama idea Demokrasi itu sendiri, dan kedua serangan balik dari idea tersebut.
Instrumen, prosedur dan massa demokrasi meluas, populer bahkan meliar tak terkendali, disisi lain antitesis serangan balik atas kendala-kendala demokrasi, atau asumsi-asumsi kuantitatif ekonomis bagi keraguan era sekarang ini, apalagi beringsut pada keliaran demokrasi radikal sekalipun. Hal ini memicu argumen dan sikap yang berlawanan atas jelang jalan panjang menuju cita-cita demokrasi sebagaimana kita pikirkan semua.

Riak dan dinamika dalam jelang transisional menuju cita-cita tersebut berseliweran dengan dendam, keraguan , bahkan kesesatan-kesesatan jalan, atau malah membalik arah menuju masa silam. Masa yang kerap di rindukan oleh fosil-fosil rezim Soeharto.

Dalam keseliweran ini, konsistensi, etika, aturan adalah penanda-penanda penting dan aturan-aturan yang efektif bagi rentang jalan terjal menuju cita-cita tersebut. Bila kita menafikannya, tunggu saja kecelakaan siap memamah kita. Sebaliknya, bila kita sabar, taat dan ikuti jalan tersebut dengan disiplin, terkendali emosi, etis dan konsisten, sajadah demokrasi terbentang panjang dan pintu surga itu bersiap menyambut kita

Coba kita terka, salah satu seliweran Demokrasi yang bilamana tidak hati-hati dengan niat, Intelektual, etika, aturan dan konsistensi sikap dan pemihakan kita, adalah Narsisisme Politik. Biasanya trend ini muncul di kala pesta demokrasi mewabah. Maksud saya Pemilu.

Narsisme Politik yang saya maksudkan di sini bukan sebuah paham dan ideologi politik tertentu, melainkan trend sikap, niat, intelektual dan performance politik sebagian politisi2 dalam menformulasi demokrasi prosedural. Sebagaimana kita pahami dan tangkap bahwa niat, sikap, intelektualitas sebagian politisi2 tersebut dalam menformulasikan idea demokrasi lebih merunut kepada kemampuan dan kepopuleran yang bersangkutan, ketimbang menformulasikannya secara tepat, ---sebagaimana Demokrasi itu sendiri---- dari, oleh dan untuk RAKYAT. Ada kecenderungan patologi politik dalam jelang jalan panjang ini, sebagian politisi kita kerap menghamba diri, dari pada menghamba Rakyat sendiri.
Relasi yang paradoks ini akan tergambar jelas pada saat politisi ini secara prosedural demokrasi(pemilu) terpilih dan menjadi wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Terka saja trend kecenderungan yang bersangkutan, apakah menguat ke dirinya sendiri atau menguat pada konstituennya.

Namun, Performance narsisme politik ini terpapar jelas di saat masa kampanye pemilihan umum(daerah maupun nasional). Setiap calon dan kandidat ber ’aku ’ ria dengan menunjuk dirinya paling mampu dalam mengelola hal ihwal ”demi kepentingan rakyat dan kerakyatan”. Lihat saja ribuan photo politisi di sepanjang jalan, dan triliunan biaya iklan politik di radio, koran, Internet dan Televisi. Ada sesuatu keterjebakan arah kendali demokrasi politik mengarah ke individu ketimbang isu dan program memaksimalkan kesejahteraan rakyat dan konstituen sendiri.

Beberapa hal menurut saya penunjang trend narsisme politik sbb :
Pertama, Kesimpangsiuran platform reformasi dengan visi dan misi yang jelas di sertai dukungan kolektif yang terarah, konsisten atas reformasi yang kita lakukan. Ada kegamangan teoritik dan ideologis dalam memapah arah demokrasi yang lebih jelas jelang menuju cita-cita yang kita perjuangkan. Kejelasan yang dimaksudkan adalah kejelasan ideologis arah bernegara dan berdemokrasi, termasuk kejelasan platform dalam membangun negara bangsa, sehingga berpola pada pilar-pilar penting demokrasi, dengan lini penggerak utamanya adalah partai.
Tetapi lihat saja yang terjadi dalam dekade pasca reformasi 1998. Arah bernegara dan berbangsa betul-betul ”pelangi”. Setelah ke kanan, lalu ke kiri, kemudian ke kanan,, ke tengah. Tadinya Kuning, kemudian merah, lalu Hijau, berubah biru. Setelah ini, tidak tahu apa lagi arah pendulumnya mau kemana, pelanginya berubah warna apa.
Perihal ini, mewabah bagi aspek lainnya, yah birokrasi, yah hukum yah ekonomi , yah budaya.
Komunitas Reformasi pasca 1998 nampak gamang dalam mem” build up” idea demokrasi ala Indonesia yang kita harapkan.

Kedua, Partai politik tidak cukup mampu memapah massa dan konstituen ideologis, (perkecualian bagi PKS, namun nampak agak landai formulasi ideologisnya sekarang ini). Lebih besarnya jumlah partai terdaftar di KPU sekarang ini dibandingkan pemilu 2004, bukan menggambarkan performance Demokrasi nan indah, melainkan ada sesuatu yang salah dengan arah, platform dan ideologi partai-partai utama. Ada kegamangan dalam sikap dan perilaku ideologik partai meresponsi dan memrogram kembali visi dan misinya, sehingga melumer pada desakan-desakan aksi baru dalam bentuk performa ketidakpuasan sebagian kader-kader handal, atau malah melahirkan sebagian kelompok-kelompok interes /praktisi politik yang kecewa atau digoda dengan peluang kekuasaan di kamar yang lain. Desakan-desakan tersebut, di sisi lain membuncah pada peran-peran individualistik ketimbang aktualisasi performa partai. Seterusnya, tema-tema Demokrasi semakin liar dan tak terkendali, tak terstruktur secara baik, disinilah fenomena keputusan Mahkamah Agung menyangkut pembatalan pasal 214 UU.No.10 tahun 2008, dan soal Capres Independen harus dipahami. Dalam hal ini, bukan setuju tidak setuju tentang masalah ini, melainkan menjelaskan kelemahan partailah sebagai instrument demokrasi, yang sekali lagi saya katakan tidak cukup mampu memapah masssa dan konstituen ideologisnya, atau singkatnya tidak cukup mampu menjadi lokomotif perubahan seperti yang diharapkan.

Dari sisi ideologi, coba perhatikan kejelasan Ideologi semua partai, nampak latah ketimbang sebagai sebuah sedimentasi intelektual dan nilai-nilai yang terpateri guna berjuang sesuai cita-cita yang diinginkan. Apalagi bilamana mengharapkan sebuah pekerjaan programatik untuk melahirkan kader-kader ideologis.

Golkar, yang nasionalis terasa seperti gerbong akhir penyelamatan sisa rezim politik Orba, ketimbang sebuah garis perjuangan baru untuk misalnya, menjadi tameng utama ideologi negara, yang hari gini semakin tidak populer. Bersama partai-partai nasionalis lainnya, mereka tidak se-kapal, demi perjuangan yang strategis. Namun, untuk soal ”kuasa” meski hambar dlm kelola pemerintahannya, pasti terjadi. Jangankan se ideologis atau yang seakan-akan se-ideologis, yang tidak seideologi pun, asalkan posisi ada dan pas, tidak mustahil aliansi itu terjadi.
Sekali lagi , karena yang terjadi adalah menguatnya pribadi ketimbang instrument, maka ruang munculnya narsisme politik mewabah, bahkan di lini ini.
Bagaimana dengan partai agama?. Sama saja, belakangan semenjak pemilu 2004 hingga prediksi di 2009 partai agama semakin tidak populer, selain karena ladangnya sudah terbagi, gerakan keagamaan di Indonesia, pendulumnya lebih mengarah ke tengah, agak menjauh dari kanan, apalagi yang ultra kanan.
Padahal, sebetulnya ketika PKS muncul pertama kali, banyak yang berharap dengan peranannya ke depan, tapi sekali lagi PKS seakan-akan terjebak dengan seliwearn politik ideologi yang lambat laun memamahnya juga.

Itulah dua di antara banyak hal yang menjadi penunjang atas trend narsisme politik, yang sekali lagi tidak dengan pretensi akademik, atau memahami narsisme sebagai suatu isme,paham. Tetapi lebih mengarah kepada pribadi-pribadi atau individu politik ketimbang kelompok atau komunitas, yang nyata-nyatanya agak kurang berhasil itu.. (26 Pebruari 2009)