Kamis, 27 September 2007

MASALAH IDENTITAS DAN SUMBANGSIHNYA BAGI KEKAYAAN PERADABAN

Menarik membaca buku Amartya Sen yang berjudul “ Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas”, selain menarik bahasan dan kajian kritisnya, lebih dari itu, sikap intelektualnya itu seiring dengan sikapku selama ini, taruhlah misalnya sejak keyakinan-keyakinan tersebut menghunjam semenjak menjadi aktivis mahasiswa, tapi tidak, mungkin dimulai semenjak masa-masa SMA.

Sewaktu Samuel Huntington, populer dengan teori benturan antar peradaban dasawarsa silam, -masih terngiang diskusi ttg teori Huntington ini di antara teman-teman mahasiswa- banyak kejadian-kejadian politik identitas yang cenderung linear dengan teori Huntington, meskipun misalnya kita tidak sepenuhnya setuju dengan beliau. Sehingga ada reduksi-anggapan yang keterlaluan atas sumbangsih teori Huntington. Pertama, bahwa Huntington lewat teorinya, memberi semacam kaidah-kaidah sikap politik identitas yang menyesatkan ketimbang sebagai teori sosial yang valid bagi batasan-batasan yang ia berikan, seperti misalnya dengan sebutan peradaban Islam, peradaban Kristen, Hindu, Barat dsb. (menarik kajian kritis Amartya Sen disini, beliau membedah habis kekeliruan teoritis dari teori benturan peradaban menurut Huntington), Kedua, Lebih dari pada itu, menyediakan kemapanan konflik yang disebut sebagai konflik peradaban seperti benturan peradaban Islam dan Barat dan sebagainya. Ketiga, Olehnya, mengakibatkan kesesatan reduktif bagi pemahaman global tentang kebudayaan, peradaban, pluralitas dan globalisasi.

Kesesatan yang nyata dan linear bagi kaidah-kaidah sikap politik identitas, yang disebut sebagai peradaban menurut Huntington, seakan menyediakan ruang yang tetap dan berlawanan dengan identitas peradaban lainnya. Hal ini telah dimulai secara simbolik di Afghanistan dan peristiwa 11/09. Maka, tidak mengherankan bilamana wacana penumpasan terorisme Islam pasca September kelabu tersebut, berada dalam ranah dan batasan menurut Huntington, “benturan peradaban”. Linearitas tersebut terjadi bukan saja di sisi dominan, melainkan juga pada sikap-sikap yang lebih fundamentalistik dari perasaan identitas masing-masing.

Padahal, di balik kekeliruan gema teori tersebut beserta konsekuensi sosial politik pada sikap-sikap dan kecenderungan-kecenderungan politik global, menyediakan kekayaaan identitas yang tidak semestinya tersesat pada wacana hegemoniknya Huntington. Disini ketertarikan saya ketika membaca Amartya Sen.

Amartya menguliti habis kekeliruan teori Huntington tersebut, bahkan pada sikap-sikap penyelesaian benturan yang paling mutakhir sekalipun. Disini pikiran saya melayang pada pegiat-pegiat dialog antar agama, dialog pluralitas dan semacamnya, yang menurut amartya, hanya merupakan penyumbang bagi langgengnya kekeliruan teori benturan peradaban atau pemiskinan kekayaan peradaban itu sendiri.

Olehnya, ketika membahas tentang identitas, pasti kita bukan membahas identitas yang tunggal, melainkan multi identitas. Maksudnya, kita tidak serta merta hanya membahas Identitas seseorang yang beragama Islam, Kristen atau Kong Hu Chu, melainkan selain beragama Islam, kelahiran Banglades, tetapi keturunan Turki Eropa, berprofesi sebagai pengacara, pencinta sepakbola, dan mengikut clubbing di Amerika. Begitu berjejeran dan banyak identitas yang dimiliki setiap orang, apalagi misalnya kalau kita harus memerangkapnya ke istilah peradaban itu sendiri. Kekayaan identitas tersebut yang pasti dapat menyumbang bagi peradaban itu sendiri,

Kembali di alinea pertama di atas, sewaktu mengikuti pertemuan buka puasa beberapa waktu lalu yang diselenggarakan oleh salah satu organisasi alumni mahasiswa beretnis Gorontalo di rumahnya pak Sofyan Maku, atau beberapa kali pertemuan-pertemuan semacam itu sebelumnya, pikiran saya lagi-lagi melayang ke tulisan Amartya Sen di buku tersebut. Kekayaan identitas yang produktif, beraneka ragam tidak semestinya direduksi oleh keragaman identitas, seakan didunia lain selain dunia sini, tidak ada.

Sikap pribadi semenjak mahasiswa, yang tidak bergeming dan melakukan aktivitas organisasi mahasiswa yang berdasarkan etnis atau penafian pada sikap-sikap ethno sentries, ditelisik karena mungkin pengaruh ideology independensi keyakinan dan intelektual menurut doktrin HMI pada saat itu.

Meskipun demikian, lepas dari telisik yang lebih dalam, ketertatihan sikap-sikap semacam itu menggambarkan di diri saya pada pribadi yang lebih beridentitas optimis.

Hal nyata, sikap-sikap tersebut yang paling minimal memungkinkan sebagai solusi penyelesaian konflik global, yang didasarkan atas kerangkeng benturan-benturan peradaban, menurut Amartya, selain tentu pula sebagai kekayaan peradaban itu sendiri.

Olehnya, dapat disimpulkan masalah identitas yang akan menentukan sumbangsihnya bagi peradaban, tergantung pada nalar, pilihan dan konteks sosial. Bilamana nalar sesat, dengan pilihan yang sesat pada konteks sosial yg menindas, pasti terkerangkeng pada benturan peradaban, sebaliknya bila nalar yang sehat, independent, objektif, dengan pilihan yang tepat dan kompleks tetapi dalam konteks sosial yang membebaskan, pasti tiada kerangkeng yang membentur peradaban. Sumbangsihnya adalah kekayaan peradaban di samping solusi paling minimal dalam menyelesaikan konflik global sekarang ini. Demikian.


(by rahmat adam, 27/09/2007, di saat gaji dan THR cair..heheh)

Selasa, 25 September 2007




Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)

Rabu, 12 September 2007

MARHABAN RAMADHAN

Seperti air di terik panasnya matahari, ramadhan hadir meleluasakan diri kita untuk kembali di fitrah yang sebenarnya. Ada gelitik-gelitik moral dan sosial dalam momen ramadhan ini, yang intinya adalah bagaimana mengelola ‘ann-nafs” sehingga produktif dan efektif bagi manusia dan sekelilingnya. Dalam istilah para da’i, disebut sebagai ruang dan saat melatih mengendalikan diri, peka sosial dan konsentrasi pengabdian pada Allah SWT.

Sejatinya, ramadhan menyediakan ruang moral, sosial dan transendental yang total bagi penggeMblengan diri, yang kadang sok dan bangga dengan kekuasaan dan harta yang kita miliki. Ramadhan hadir untuk menyadarkan kembali fungsi dasar kita di ciptakan, proses berperilaku hidup seperti yang dituntun, serta arah dan tujuan hidup kita di atas bumi ini.

Olehnya, kewajiban ritual puasa oleh Allah SWT (QS. Al-baqarah :185) di dalam bulan ramadhan, hendaknya tidak semata dipahami materil belaka, menahan lapar dan dahaga serta seks. Melainkan efek bathiniah yang sangat besar bagi diri kita, pembangunan manusia yang seutuhnya, bahkan bagi cita-cita setiap program kebangsaan, kenegaraan dan dunia. Mengapa?

Dalam hadits Qudsi, Allah SWT, berfirman : “ As showmu lii wa anaa ajzii bihi” yang artinya puasa itu untukku dan akulah yang akan membalasnya. Hadits lain, sekembali dari Perang Badar, Muhammad bersabda: “ Kita kembali dari perang yang kecil dan akan menghadapi perang besar, yakni perang melawan hawa nafsu” (raja’na minal jihaadil asghar, illa jihaadil akbar, wa hiya jihaadin nafs).

Dari dua hadits tersebut, bila dihubungkan dengan kewajiban puasa di dalam Al-Qur’an, bisa di beri beberapa catatan :

Pertama, Allah SWT, mewajibkan ummatnya untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan orang-orang sebelum kita, agar kita bertaqwa, sebetulnya memiliki makna yang sangat mendalam. Pengertiannya tidak semata menahan lapar, dahaga dan seks, bagi usaha menjadi orang bertaqwa, melainkan bagaimana kelola an-nafs yang menjulang tidak saja pada fungsi-fungsi materil manusia, melainkan fungsi-fungsi bathin kemanusiaan. Sinyal hebat ini, telah diwahyukan oleh Allah SWT, baik dalam surat Al’A’raf ayat 172 di awal peniupan ruh ke tulang sulbi manusia, QS. Ar-rum ayat 30(tentang fitrah manusia), maupun dalam hadits Qudsi di atas. Puasa itu untukku dan akulah yang akan membalasnya. Keberhasilan mengimplementasikan puasa yang padu ini, bagi diri kita, sangat punya efek bagi cita-cita dan program kemanusian yang kita bangun .

Kedua, Komitmen dan konsistensi(ayyaman ma’duudats), adalah dasar moral yang sangat menentukan integritas seorang Muslim. Hari-hari yang ditentukan bagi kewajiban berpuasa bagi Muslimin, menggembleng diri dalam usaha exercising(pelatihan) Ke-Istiqamahan yang cerdas dan tepat.
Ketiga, Ramadhan sebagai ruang pengaktualisasian latihan kepekaan sosial, lewat kebajikan Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Terpapar di dalam ramadhan kiat pribadi yang transendental, dan perilaku sosial yang seimbang, se-akan Tuhan menitip pesan perilaku hidup tiap manusia tidak harus berlaku sangat egoistis (demi kepentingan kebaikan diri sendiri) tetapi seimbang juga bagi kepekaan sosial yang altruistik.
Variable Zakat, sebagai arkanul Islam, olehnya dapat dipahami sebagai tool of social control bagi pemenuhan program pembangunan masyarakat yang makmur dan sejahtera

Keempat, Makna turunnya Al-Qur’an pertama kali di bulan Ramadhan, olehnya dapat dipahami sebagai penanda pentingnya Ilmu Pengetahuan. Hal nyata, yang menjadi kemunduran umat Islam dibandingkan dengan umat-umat lainnya. Olehnya, bertahun-tahun kita seremonialkan turunnya Al-Qur’an dan kita rayakan, semestinya menjadi penggemblengan bagi usaha ummat menguasai ilmu pengetahuan setinggi-tingginya.


Dari beberapa catatan yang diurai tersebut di atas, apa yang relevan dengan ramadhan yang berulang-ulang kita lalui dan laksanakan kewajibannya?

Tentu, ada spasial, ada jarak dari motif dan niat yang sesungguhnya dalam menjalankan kewajiban di bulan Ramadhan dengan apa yang kita jalankan, apalagi misalnya kita menjadikannya faktor-faktor pengacu bagi usaha mengimplementasikannya di luar Ramadhan. Olehnya, pasti bakal banyak pertanyaan yang menghunjam dan penting bagi ketololan dan kebodohan kita yang tidak cerdas dan istiqamah mangambil dan mengimplementasikan nilai-nilai dan resep-resep yang telah dipersediakan Tuhan, misalnya lewat Ramadhan .

Untuk itu, kesadaran di awal menemui ramadhan adalah kesadaran yang melintasi batas cita-cita, tidak stagnan pada ritualisme, tetapi di kiat dengan program diri dan sosial yang terarah dan fokus, sehingga Islam bisa betul-betul menjadi rahmatan lil aalamin….
(…. Laallakum tattaquun/agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa).
Marhaban yaa ramadhan