Jumat, 18 April 2008

SAATNYA ERA EKONOMI


Hingar bingar kepolitikan daerah, pusat ataupun mancanegara, tak rudung membuat melek analis, tentang misalnya arah masa depan dunia, dari sisi pandang kepolitikan, melainkan rumusannya lebih meng-ekonomi ketimbang politik kekuasaan, meski dalam hal ini kita bukan mengenyampingkan segmen kepolitikan.

Kalau saja, bisa kita peta-petakan historinya, semenjak era spiritualitas dan agama, memasuki era saintis , kemudian kepolitikan dan sekarang, adalah era kebangunan ekonomi, maka rasanya sangat relevan bila kita katakan bahwa arah masa depan dunia, sangat ditentukan oleh carut marut plan ekonomi, yang me-lokal, nasional, bahkan global. Rasanya sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, dunia tidak lagi ditentukan oleh segmentasi politik kekuasaan an sich, sebagaimana kita kenal, melainkan lebih mengarah kepada riuh dan gemuruh keekonomian.(dimana politik melunak, dan included)
Bukankan, era Ideologi, sebagaimana sinyalir Francis Fukuyama, tak relevan lagi dalam dialog kesejarahan, atau misalkan Huntington tentang teori Clash of Civilization(benturan peradaban) tak relevan lagi dalam lakon ekonomi yang mengglobal, (…hal ini misalnya dibantah abis-abisan oleh Amartya Sen dalam bukunya tentang Krisis Identitas)

Olehnya, ketika melek dengan kasus-kasus politik nasional, atau internasional, pengendali domain utama untuk semuanya tentu saja adalah ekonomi, Maka sewaktu memahami latar belakang krisis Timur Tengah dari Palestina hingga Iran, pasti tak lepas dari keterlibatan ekonomi Dick Cheney(wapres US), atau beberapa pelakon ekonomi minyak di Timur tengah. Atau, kenapa Amerika dan Jepang tak pernah mau bersungguh-sungguh menerapkan protokol Kyoto, tentang menurunkan emisi sekian persen di negaranya. Sekedar informasi, di Jepang sekarang lagi riuh konflik politik antara LDP dan Partai Demokrat menyangkut menaikkan BBM, untuk seterusnya menambah pajak, untuk pembangunan jalan, atau menurunkan BBM, dan pengalihan anggaran pajaknya ke pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan (Kompas, rubrik opini tgl 06 April 2008)

Sewaktu membaca Naisbitt dan Aburdene, dalam bukunya yang berbeda(Mindset dan Megatrend 2010) dua pertiga-nya membahas tentang indikator-indikator keekonomian dalam kecenderungan masa depan dunia, setidaknya dalam starting point-nya sejak 2010, demikian analis Patricia Aburdene.

Untuk pemilihan umum, seperti Amerika saja, sangat tergantung pada keberadakan kocek masing-masing calon. Lihat saja kocek siapa yang lebih tebal antara Hillary dan Obama?

Lantas, bukankah politisi, intelektual, aktivis, birokrat, pimpinan daerah, bahkan nasional tiba-tiba jatuh dari kariernya cuman karena ghirah keekonomian, yang kebetulan sesat di hadapan regulasi, aturan dan undang-undang, alias korupsi.
Lihat saja Anwar Nasution(BPK) dan Antasari Azhari(KPK) sekarang ini berdansa-dansi dihadapan semua komponen dan lembaga kenegaraan demi kebangunan ekonomi kenegaraan dan kebangsaan yang benar-benar terarah sesuai rencana dan pelaksanaan. Bank Sentral saja keteteran ketika memasuki domain ini, bahkan lembaga paling berwibawa di Indonesia semacam Kejaksaan dan Mahkamah Agung sekalipun, nyaris tetap terkait ke dalam domain ekonomi(yang sesat) dimaksud.

Jangan heran, era keekonomian di zaman Sri Mulyani sekarang ini dapat memetakan carut marut ketidak becusan kelola ekonomi kenegaraan. Karena, nanti di era SBY sekarang inilah kita mengenal yang namanya Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, hingga program turunannya(derivative).Olehnya kemudian, bermacam-macam ketidakbecusan kelola anggaran membuncah di hadapan kita. Maka tahulah kita ketidakberesan-ketidakberesan kelola anggaran dari daerah hingga pusat. Terakhir yang sempat kita tahu adalah ratusan triliun asset daerah dan negara yang tak ada dalam laporan keuangan lembaga, instansi dan negara, lalu kemanakah ?, Kemudian asset negara yang dialihkan dan belum lama ini tentang RDI .

Dalam Dunia Global
Tentang dunia global, pasti kita masih di henyak oleh dampak krisis kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) di Amerika yang membandul dunia, harga minyak membumbung hingga OPEC pun tidak mau menaikan produksinya, dan pangan yang harganya melambung tinggi. Indonesia saja, akibat gemuruh resesi ekonomi global dimaksud, membuat dampak inflasi dari Januari 2007 sebesar 1.27 %, Pebruari 0.65 % dan Maret 0.95 %. Ada keraguan asumsi target inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam APBN Perubahan 2008 yang berkali-kali di ubah itu, tidak akan tercapai seperti di harapkan. Kalau kita menargetkan pertumbuhan ekonomi dari 6.8 % kemudian di pangkas menjadi 6.3 %, maka Bank Dunia dan IMF menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia cuman 6.0 %.
Amerika, yang anggarannya banyak tersedot pada anggaran perang di Irak, pertumbuhan ekonominya diasumsikan cuman bergerak di angka 1.6 % tahun ini, Bandingkan dengan tahun 2007 sebesar 2.5 %. Triwulan I 2007 baru-baru ini saja, Amerika cuman mencatat angka pertumbuhan 0.6%, bahkan ada sinyal yang menakutkan dari Ben Bernanke, Gubernur The Fed, Bank sentralnya Amerika bahwa kita segera memasuki era stagflasi(dimana ekonomi tak tumbuh dan inflasi melambung) atau resesi, bahkan resesi global. Sekedar diketahui putaran ekonomi Amerika adalah sebesar 25 % dari total putaran ekonomi dunia. Maka tak diragukan , Amerika terseguk (kukehe), akibatnya membandul dunia ekonomi global, Eropa sampai Asia.
Tahun ini, raksasa ekonomi Asia, China dan India, masing-masing menargetkan asumsi pertumbuhan ekonominya sebesar 8 % dan 9.2 %, bandingkan dengan angka pertumbuhannya di Tahun 2007.
Dari sisi moneter, akibat macetnya kredit subprime mortgage di Amerika, banyak perusahaan investasi dan finansial raksasa di Amerika yang tiba-tiba mendulang rugi ratusan milyar, malah terancam bankrut. Maka, perusahaan investasi sekelas Bear Stern pun tiba-tiba harus dibantu oleh pemerintah Amerika lewat JP Morgan untuk menginjeksi dan menyelamatkan perusahaan tersebut. Setelah juga beberapa perusahaan besar lainnya merugi semacam City Group, Merril Lynch, dan lainnya. Kemudian Eropa kena dampaknya, hingga ke Jepang. Terakhir perusahaan investasi raksasa Jepang Mizuho Group Inc. harus menghapus bukukan kredit macetnya.

Isu Lingkungan
Gemuruh keekonomian juga menggeliat ke isu lingkungan. Maka, tak heran dalam konferensi perubahan iklim di Bali beberapa waktu lalu, salah satu agendanya menghitung emisi karbon yang dikalkulasi dalam hal untung rugi keekonomiannya. Tetapi, tentu saja ada batasan-batasan yang berbahaya dalam perilaku ekonomi makro yang terlampau optimis, paling tidak ini menjadi problem ketika Amerika dan beberapa Negara lainnya menggeliatkan keekonomiannya dalam hal energi pengganti, sebagai pengganti BBM ke segmen biofuel semacam kedelai. Dampak sederhananya, ada yang mengatakan pada meningkatnya harga pangan dunia, yang kemudian pengaruhnya pada harga pangan negara-negara lainnya. Mungkin sikap seperti itu, semacam terobosan penting daripada terjebak pada isu mengurangi emisi karbon, yang tentu pula punya logika ekonominya sendiri.

Hal yang paling sesat dalam isu ini untuk negara kita, adalah saat keluarnya PP no. 2 Tahun 2008, dimana aturan tersebut mengatur tentang sewa hutan lindung sebesar harga pisang goreng, yang oleh kalangan peduli lingkungan di bantah habis-habisan.

Daerah
Momentum semacam ini, untuk daerah Gorontalo rasanya sudah dimulai semenjak Fadel terpilih menjadi Gubernur. Lepas dari kaidah dan tafsir kepolitikan, Fadel menyetir daerah ini mendekati karakter keekonomian sebagaimana yang kita maksudkan, yakni berupaya mensejahterahkan rakyat dengan memberdayakan rakyat dalam cara memberdayakan variable-variabel ekonomi penting di daerah yang lebih melekat kerakyatannya. Meski memang belum optimal sebagaimana yang kita harapkan semua, nampaknya dukungan bagi semua program ekonomi kerakyatan , tanpa pretensi politik apapun layak kita terima dan bekerja. Sebaliknya menjual(maksudnya promosi) daerah ke pusat, daerah-daerah lainnya hingga ke luar negeri, tidaklah elok bila mana agenda ekonomi kerakyatan belum senyata-nyatanya menyentuh semua rakyat Gorontalo.
Dengan alasan pertumbuhan ekonomi rata-rata beberapa tahun terakhir di atas 7 %, tak layak menjadi acuan bagi berhasilnya memberdayakan ekonomi sebagaimana yang kita inginkan. Hal semacam ini, pernah berkali-kali dilakukan di masa Orde Baru, tetapi justeru rakyat masih sengsara dan menderita.

Suatu kali saya pernah bertanya ke seorang birokrat pertanian di daerah ini, kalau kenaikan rata-rata diatas 7 % pertumbuhan ekonomi di daerah ini beberapa tahun berjalan, darimanakah ? karena, terang saja, beberapa pendatang yang bermukim di daerah ini banyak bertanya tentang Jagung yang didengung-dengungkan di media, sebagai komoditas utama dan menjadi icon di daerah ini. Tetapi, ketika berada di daerah ini jarang ditemukan. Birokrat yang ditanyakan itu menjawab : … dari pemerintah daerah? Lho…. Lha iyya, uangnya dari pemerintah kemudian di bikin macam-macam proyek pembangunan, dan lalu di catat sebagai pertumbuhan.

Kali lain dalam sebuah seminar BPS, yang menghadirkan semua lembaga keuangan dan perbankan daerah di Hotel Qualiti, saya pernah menyampaikan , perlunya kita melakukan kontrak ekonomi politik demi mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, saya tak tahu apakah isu itu dipertimbangkan? Yang pasti, kalau kesadaran pertumbuhan dan pembangunan yang melokal dan meregional tidak berurat akar pada lembaga-lembaga keuangan dan perbankan yang ada di daerah (yang nyata-nyatanya kepentingan utama mereka adalah kapital /modal), dan kemudian di atur dalam sebuah kontrak ekonomi politik (apapun istilah yang kita pakai) rasanya kita terlampau determinan dengan program rutin pemerintahan di daerah.
Sebenarnya untuk hal ini, pemerintah pusat mulai mencontohi, paling tidak mendekati. Misalkan tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dicetuskan pemerintah dan di distribusikan ke bank-bank BUMN.
Tentang KUR, Responsi daerah kayaknya, belum memadai bilamana kita memperhatikan dalam 5 bulan terakhir ekpansi kreditnya belum menembus di atas 10 % dari total kredit sejak diluncurkan November 2007. Nah, bukankah itu salah satu momentum daerah guna mendaya kan rakyatnya ? Belum untuk sektor lainnya.
Karena untuk daerah semacam Gorontalo yang masih balita ini, infrastruktur, investor, transportasi dan lainnya adalah beberapa hal lain yang tak kurang penting untuk juga di perhatikan. Tentu, dalam kerangka kesejahteraan kerakyatan di Gorontalo.



Demikian, saatnya era ekonomi, sesungguhnya dalam tulisan ini dimaksud bukan sekedar memapar gejala, carut marut keekonomian dan kekurangberdayanya daerah , tetapi menggelitik kesadaran kita tentang pentingnya kesadaran keekonomian, yang berarti kesadaran demi kesejahteraan daerah, bangsa dan dunia, yang meng-include juga politik. Sehingga kerja bhakti keekonomian kita dapat menjadi penopang-penopang (paling tidak dalam bentuk keprihatinan dan perhatian) rumah tangga kebangsaan demi kesejahteraan daerah, negara dan umat manusia. Semoga.