Minggu, 14 November 2010

Memahami Teror Mapolsek di Deli Serdang

Berbalas pantun berdarah-darah. Semisal pepatah lama : batu di balas batu, bukan kapas, demikian menyimak teror di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang Sumatera Utara kemarin.

Kegusaran kriminalitas ini, hampir layak di samakan dgn suasana terror Mafioso obat bius di Mexico. Berulang-ulang aktor besar dan utama di tangkap dan ditembak, tetap saja masyarakat di sana masih merasa tidak aman, hingga media sekaliber el diario (kalo gak salah), memohon-mohon lewat tajuk rencananya agar supaya jurnalisnya tdk ditembak( setelah kematian dua jurnalisnya) asalkan kemauan Mafioso yang perlu di tulis dan tidak di tulis disampaikan.

Nampak, perang melawan Terorisme ala Indonesia berkelebat hantu-hantu beranak pinak teroris sampai ke buhul-buhulnya. Mati satu tumbuh seribu. Frase ini kayaknya layak tidak saja bagi masa pejuang dulu, tetapi laksana pohon pisang, semakin di tebas semakin bertunas.

Salah dan Benar

Kalau demikian, apa yang salah dan benar dari perang terhadap terorisme di Indonesia? Yang benar, Polisi tampil untuk melindungi masyarakatnya dari “”setan-setan terkutuk”” itu meminjam istilah salah seorang pejabat Kepolisian. Yang salah, tebasannya kurang mengakar, visioner dan ideologik kayak politisi aktivis. Yang benar, polisi mesti bertindak cepat, akurat, tegas dan prosedural. Yang salah, semua demi pencitraan, atau bahkan sekedar alih isu. Yang benar perang terhadap terorisme di Indonesia adalah tugas semua pihak, bahkan untuk tukang kritik yang paling radikal sekalipun. Yang salah, polisi dan pemerintah merasa ini urusan dia belaka. Dan banyak lagi akan berjejeran silogisme benar dan salahnya perang melawan Terorisme di Indonesia ini.

Padahal, mudah menebak, kenapa terorisme berjamur semerbak seperti di musim hujan. Tirakat kita tidak utuh menempatkan fungsi moral dan sosial di rel yang benar, Pemampat ideology utama : Pancasila tidak laku dalam tindak aparat, elite dan publik serta Agama sudah menjadi semacam pelarian dan penjara alienasi karena kekecewaan peranan Negara di masyarakat, yang anehnya mereka hadir, binal dan bebal di ruang warga yg wajib dilindungi oleh Negara itu.

Dedahan wacana pluralitas, toleransi, dialog antar agama menjadi rubrik dan menu semua Kampus besar dan kecil, termasuk banyak lembaga dan organisasi besar mendendangkannya. Dari Muhammadiyah, NU, HMI, HTI, PGI, PMKRI, GMKI, Sinode GMIM sampai dengan sekelas Karang Taruna dan Remaja Mesjid, Remaja Gereja, Kolom Bapak-ibu.

Ini juga menjadi diskursus yang tidak habis-habisnya hingga hari ini.

Lantas mengapa ada sebagian saudara-saudara kita yang mendendang minus dari nada nan indah ini? Oke, kita anggap itu bagian dari hiruk pikuk euphoria demokrasi, karena semua elemen, meski yang paling berbeda sekalipun mendapat ruang ekspresi di sini. Tetapi, mengapa sebagian ini semakin menjadi-jadi, ibarat pemangkas rumput pluralitas, atau seperti fenomena La Nina di Jawa dan Bali yang membikin panen padi tidak jadi dan sebagian Puso ratusan bahkan ribuan hektar. Apakah media turut menjadi-jadikannya seperti itu, atau karena teladan-teladan publik, tokoh, elite dan pemerintah yang bersolek moralis, tetapi kelakuannya munafik, koruptif dan eksploitatif berdarah-darah.

Rasa-rasanya, yang terakhir inilah yang dimaksud dengan tirakat kita yang tak utuh menempatkan fungsi moral dan sosial di rel yang benar. Ini bisa kita lacak sebab-musababnya secara lokal, nasional, regional bahkan global. Dari urusan baju pejabat yang ratusan juta hingga urusan kemiskinannya MDGs yg di bahas PBB di New York sekarang ini, karena Samir Amin bilang ini cuma kerjaan Neoliberalis belaka kok!

Kedua, tentang soal Ideologi Negara, saya tertarik, beberapa kali salah satu chanel Televisi di Indonesia menyiarkan acara yang cukup menggelitik, caranya sederhana: mewawancarai warga apakah masih menghafal sila-sila Pancasila, lain waktu apakah masih menghafal lagu-lagu kebangsaan. Hasilnya, sedikit banyak yang tahu, tapi kebanyakan salah mendendangkannya.

Meski tidak mau mereduksi, tapi ideologi Pancasila sekarang ini semakin tidak populer. Ada yang menganggap : racun keong rezim Soehartois menjangkitinya berkali-kali, hingga kurang dinamis terbang di era demokrasinya reformasi sekarang ini. Buktinya, perilaku Pancasilais rasa-rasanya kurang trendy bagi elite, tokoh dan mahasiswa. Kerap kita lebih bangga di sebut Liberalis, Sosialis, Neoliberalis, Agamis dan is-is lainnya. Untuk urusan ekonomi, lebih bangga mengutip metodologi-metodologi asing ketimbang berkreasi dengan ideologi ini, padahal banyak kok pemikir-pemikir kita yang mumpuni dengan dasar ideologi yang kita punya lantas kreatif dan memerinci prinsip-prinsip ekonomi khas Indonesia.

Padahal dengan Pancasila (mungkin saya lebay..), kerukunan hidup, dan toleransi menjadi perekat kesatuan dan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara. Dengan Pancasila, mungkin urusan pendidikan sudah lama anggarannya di atas 20% APBN, dan inflasi pendidikannya tidak naik sampai dengan 154 % (sejak Januari 2002), kemiskinannya tidak akan melejit di atas 30 juta, pengangguran mungkin sudah di bawah 9 %, kekayaan tidak akan hanya di nikmati 10% terkaya di Indonesia. Dengan Pancasila, mungkin tidak bakalan ada tirani mayoritas atas minoritas. Dengan Pancasila, mungkin ekonomi kita pertumbuhannya yang tertinggi di Asia Tenggara, bukan 6,2 % tetapi setara Singapura dan di atas Vietnam, mungkin pula kita jadi Negara pengekspor komoditas-komoditas unggulan dunia, dan bukan pengekspor TKI murah dan pengacau internasional . Sehingga ruang alasan untuk mendedah aksi heroik dengan alasan apapun, bukan tidak ada, tetapi kecil, terlokalisir dan terkendali. Birahi radikalisasi tidak akan meluap-luap untuk membakar Bali, atau memberondong Bank dan Mapolsek Hampar Perak barusan. Semoga saja.

Soal agama, seorang intelektual Muslim, era 90-an pernah mengemukakan sebuah frase “dulu agama ada sebagai penyelamat manusia, tetapi sekarang manusia berusaha menyelamatkan agama”. Amboi, apa jadinya peranan sekarang?, benarkah demikian?

Wajah kebersahajaan agama berganti menakutkan akibat teror dengan alasan agama. Petunjuk dan berita penyelamatan manusia dari kegelapan, kekufuran berubah usaha aksi-reaksi manusia menyelamatkan agama dari kepungan globalisasi nilai dan material. Sudut pandang keberagamaan, pendulumnya bukan “ud’u fii sabilillah”, tetapi sudah pada “ walan tarda..dan seterusnya “. Agama, di taksir sebagai idaman dan cita-cita heroik dengan cara-cara banal, liar dan menjemukan. Agama yang indah dan damai di tegakkan dengan pedang, bom dan senjata. Agama menjadi antipati negara, demikian sebaliknya. Padahal, agama mestinya merupakan tameng negara dan demikian sebaliknya untuk urusan moral, budaya, pendidikan, ketenteraman, kesatuan, kebangsaan dan sebagainya, tetapi kenapa berubah demikian.

Bila di telisik, ada kekecewaan mendasar, selain karena urusan sisa-sisa masa lalu, dimana agama(Islam) di anaktirikan negara dan stigmatisasi-stigmatisasi, juga berleha-lehanya aparat dan elite dalam hegemoni negara-negara Neolib semacam Amerika dan Inggris untuk urusan kesejahteraan dan mekanisme kepemerintahan. Ke-alpaan ini, bersambung dengan misi dan musuh gerakan terorisme internasional yang mengatasnamakan agama(Islam).

Celah inilah yang diinfiltrasi sedemikian rupa, secara professional di indoktrinasi, dididik, dilatih dan dipersenjatai untuk melakukan perilaku biadab dengan mengatasnamakan agama yang padahal buat agama itu sendiri tak mengiyakannya. Anehnya celah itu bukan mengecil, malah melebar dan bahkan semakin liar tak terkendali dan berani.

Dari alasan-alasan ini, saya berusaha memahami kejadian teroris di Indonesia akhir-akhir ini, dengan kejadian terakhir pemberondongan di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang Sumatera Utara kemarin. Semoga mebelalakkan mata untuk kemudian mencari alternatif solusi yg mengakar, terstruktur, dan yang lebih utama menenangkan serta mensejahterahkan umat Indonesia . Wallahu a’lam

(dimuat di Kompasiana tgl 24 sept 2010, beralamat di : http://regional.kompasiana.com/2010/09/24/memahami-teror-mapolsek-di-deli-serdang/

Senin, 20 April 2009

NARSISME POLITIK

Sepuluh tahunan lewat pasca reformasi politik Indonesia, menguat kepada dua hal . pertama idea Demokrasi itu sendiri, dan kedua serangan balik dari idea tersebut.
Instrumen, prosedur dan massa demokrasi meluas, populer bahkan meliar tak terkendali, disisi lain antitesis serangan balik atas kendala-kendala demokrasi, atau asumsi-asumsi kuantitatif ekonomis bagi keraguan era sekarang ini, apalagi beringsut pada keliaran demokrasi radikal sekalipun. Hal ini memicu argumen dan sikap yang berlawanan atas jelang jalan panjang menuju cita-cita demokrasi sebagaimana kita pikirkan semua.

Riak dan dinamika dalam jelang transisional menuju cita-cita tersebut berseliweran dengan dendam, keraguan , bahkan kesesatan-kesesatan jalan, atau malah membalik arah menuju masa silam. Masa yang kerap di rindukan oleh fosil-fosil rezim Soeharto.

Dalam keseliweran ini, konsistensi, etika, aturan adalah penanda-penanda penting dan aturan-aturan yang efektif bagi rentang jalan terjal menuju cita-cita tersebut. Bila kita menafikannya, tunggu saja kecelakaan siap memamah kita. Sebaliknya, bila kita sabar, taat dan ikuti jalan tersebut dengan disiplin, terkendali emosi, etis dan konsisten, sajadah demokrasi terbentang panjang dan pintu surga itu bersiap menyambut kita

Coba kita terka, salah satu seliweran Demokrasi yang bilamana tidak hati-hati dengan niat, Intelektual, etika, aturan dan konsistensi sikap dan pemihakan kita, adalah Narsisisme Politik. Biasanya trend ini muncul di kala pesta demokrasi mewabah. Maksud saya Pemilu.

Narsisme Politik yang saya maksudkan di sini bukan sebuah paham dan ideologi politik tertentu, melainkan trend sikap, niat, intelektual dan performance politik sebagian politisi2 dalam menformulasi demokrasi prosedural. Sebagaimana kita pahami dan tangkap bahwa niat, sikap, intelektualitas sebagian politisi2 tersebut dalam menformulasikan idea demokrasi lebih merunut kepada kemampuan dan kepopuleran yang bersangkutan, ketimbang menformulasikannya secara tepat, ---sebagaimana Demokrasi itu sendiri---- dari, oleh dan untuk RAKYAT. Ada kecenderungan patologi politik dalam jelang jalan panjang ini, sebagian politisi kita kerap menghamba diri, dari pada menghamba Rakyat sendiri.
Relasi yang paradoks ini akan tergambar jelas pada saat politisi ini secara prosedural demokrasi(pemilu) terpilih dan menjadi wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Terka saja trend kecenderungan yang bersangkutan, apakah menguat ke dirinya sendiri atau menguat pada konstituennya.

Namun, Performance narsisme politik ini terpapar jelas di saat masa kampanye pemilihan umum(daerah maupun nasional). Setiap calon dan kandidat ber ’aku ’ ria dengan menunjuk dirinya paling mampu dalam mengelola hal ihwal ”demi kepentingan rakyat dan kerakyatan”. Lihat saja ribuan photo politisi di sepanjang jalan, dan triliunan biaya iklan politik di radio, koran, Internet dan Televisi. Ada sesuatu keterjebakan arah kendali demokrasi politik mengarah ke individu ketimbang isu dan program memaksimalkan kesejahteraan rakyat dan konstituen sendiri.

Beberapa hal menurut saya penunjang trend narsisme politik sbb :
Pertama, Kesimpangsiuran platform reformasi dengan visi dan misi yang jelas di sertai dukungan kolektif yang terarah, konsisten atas reformasi yang kita lakukan. Ada kegamangan teoritik dan ideologis dalam memapah arah demokrasi yang lebih jelas jelang menuju cita-cita yang kita perjuangkan. Kejelasan yang dimaksudkan adalah kejelasan ideologis arah bernegara dan berdemokrasi, termasuk kejelasan platform dalam membangun negara bangsa, sehingga berpola pada pilar-pilar penting demokrasi, dengan lini penggerak utamanya adalah partai.
Tetapi lihat saja yang terjadi dalam dekade pasca reformasi 1998. Arah bernegara dan berbangsa betul-betul ”pelangi”. Setelah ke kanan, lalu ke kiri, kemudian ke kanan,, ke tengah. Tadinya Kuning, kemudian merah, lalu Hijau, berubah biru. Setelah ini, tidak tahu apa lagi arah pendulumnya mau kemana, pelanginya berubah warna apa.
Perihal ini, mewabah bagi aspek lainnya, yah birokrasi, yah hukum yah ekonomi , yah budaya.
Komunitas Reformasi pasca 1998 nampak gamang dalam mem” build up” idea demokrasi ala Indonesia yang kita harapkan.

Kedua, Partai politik tidak cukup mampu memapah massa dan konstituen ideologis, (perkecualian bagi PKS, namun nampak agak landai formulasi ideologisnya sekarang ini). Lebih besarnya jumlah partai terdaftar di KPU sekarang ini dibandingkan pemilu 2004, bukan menggambarkan performance Demokrasi nan indah, melainkan ada sesuatu yang salah dengan arah, platform dan ideologi partai-partai utama. Ada kegamangan dalam sikap dan perilaku ideologik partai meresponsi dan memrogram kembali visi dan misinya, sehingga melumer pada desakan-desakan aksi baru dalam bentuk performa ketidakpuasan sebagian kader-kader handal, atau malah melahirkan sebagian kelompok-kelompok interes /praktisi politik yang kecewa atau digoda dengan peluang kekuasaan di kamar yang lain. Desakan-desakan tersebut, di sisi lain membuncah pada peran-peran individualistik ketimbang aktualisasi performa partai. Seterusnya, tema-tema Demokrasi semakin liar dan tak terkendali, tak terstruktur secara baik, disinilah fenomena keputusan Mahkamah Agung menyangkut pembatalan pasal 214 UU.No.10 tahun 2008, dan soal Capres Independen harus dipahami. Dalam hal ini, bukan setuju tidak setuju tentang masalah ini, melainkan menjelaskan kelemahan partailah sebagai instrument demokrasi, yang sekali lagi saya katakan tidak cukup mampu memapah masssa dan konstituen ideologisnya, atau singkatnya tidak cukup mampu menjadi lokomotif perubahan seperti yang diharapkan.

Dari sisi ideologi, coba perhatikan kejelasan Ideologi semua partai, nampak latah ketimbang sebagai sebuah sedimentasi intelektual dan nilai-nilai yang terpateri guna berjuang sesuai cita-cita yang diinginkan. Apalagi bilamana mengharapkan sebuah pekerjaan programatik untuk melahirkan kader-kader ideologis.

Golkar, yang nasionalis terasa seperti gerbong akhir penyelamatan sisa rezim politik Orba, ketimbang sebuah garis perjuangan baru untuk misalnya, menjadi tameng utama ideologi negara, yang hari gini semakin tidak populer. Bersama partai-partai nasionalis lainnya, mereka tidak se-kapal, demi perjuangan yang strategis. Namun, untuk soal ”kuasa” meski hambar dlm kelola pemerintahannya, pasti terjadi. Jangankan se ideologis atau yang seakan-akan se-ideologis, yang tidak seideologi pun, asalkan posisi ada dan pas, tidak mustahil aliansi itu terjadi.
Sekali lagi , karena yang terjadi adalah menguatnya pribadi ketimbang instrument, maka ruang munculnya narsisme politik mewabah, bahkan di lini ini.
Bagaimana dengan partai agama?. Sama saja, belakangan semenjak pemilu 2004 hingga prediksi di 2009 partai agama semakin tidak populer, selain karena ladangnya sudah terbagi, gerakan keagamaan di Indonesia, pendulumnya lebih mengarah ke tengah, agak menjauh dari kanan, apalagi yang ultra kanan.
Padahal, sebetulnya ketika PKS muncul pertama kali, banyak yang berharap dengan peranannya ke depan, tapi sekali lagi PKS seakan-akan terjebak dengan seliwearn politik ideologi yang lambat laun memamahnya juga.

Itulah dua di antara banyak hal yang menjadi penunjang atas trend narsisme politik, yang sekali lagi tidak dengan pretensi akademik, atau memahami narsisme sebagai suatu isme,paham. Tetapi lebih mengarah kepada pribadi-pribadi atau individu politik ketimbang kelompok atau komunitas, yang nyata-nyatanya agak kurang berhasil itu.. (26 Pebruari 2009)

Rabu, 24 September 2008

TENTANG ISU EKONOMI.....

Sebuah jejaring maya ekonomi di sektor finansial, adalah penentu jatuh bangunnya perusahaan, utamanya yang MNC. Tidak lagi, dihenyak pada sektor padat modal seperti misalnya manufaktur. Karena laps atau keberhasilan perusahaan di sektor ini, lebih terbatas pada soal-soal fisik ekonomi seperti pabrik, buruh, mesin dsb. Bila bangkrut tutup pabrik, PHK, jual aset, sudah. Dan itu terbatas pada wilayah tersebut.

Dalam sektor finansial, khususnya MNC, keberhasilan atau kebangkrutan perusahaan ditentukan oleh transaksi maya dalam jejaring ekonomi global, stasiunnya lewat pasar-pasar dan bursa-bursa saham, global, regional maupun nasional. Produknya, biasanya utang, selain saham.

Dari pikiran ini, kita bisa memahami bangkrutnya Lehman Brother baru-baru ini
karena terlampau liar dalam berinvestasi pada produk –produk maya tersebut, karena terlampau maya, kita lupa realitas ekonomi sebenarnya. Yang terjadi adalah sebuah koreksi pada mimpi yang menjadi produk tersebut. Pada neraca-neraca mereka disebut sebagai aset yang bernilai padahal tidak, belum lagi keliaran ini dilakukan hampir sepenuhnya oleh semua komponen di bursa tersebut, dan bahkan melatah di semua bursa dunia. Maka, kemudian kepercayaan menjadi taruhan bagi segenap perbankan investasi besar di negeri Paman Sam ini. Setelah Bearn Stern di akuisisi JP Morgan, lewat injeksi pemerintah, Meryll Lynch di akusisi oleh Bank Of Amerika dan Fanny Mae serta Freddy Mac di bantu abis-abisan oleh pemerintah, tinggal Golden Sach dan Morgan stanley, raksasa bank investasi yang masih kokoh berdiri, mereka juga terancam. Begitu kata para pengamat.
Tak usah kita tanya kenapa Lehman tidak dibantu!, toh ada isu yang menarik karena Lehman 70 % bantuannya bagi kampanye Demokrat ketimbang Republik yang menjadi penguasa Paman Sam sekarang ini.

Isu atau kejadian yang terjadi pada sumbu ekonomi global utama ini, pasti meriak ke seberang negara . Inggris, Eropa, Rusia, bahkan Thailand. Di sinyalir akan meliuk juga ke Asia Tenggara. Naiknya IHSG, minggu barusan ,menandakan banyak investor asing yang membeli surat-surat berharga di Indonesia, yang memang belum memiliki aturan pembatasan Short Selling, sebelum sesudahnya US, menerapkan pembatasan atau pelarangan untuk melakukan Short Selling bagi 766 saham di sana.

Yang jadi pikiran saya, bilakah pengaruh ini bisa terjadi di Indonesia minimal hingga Desember 2008, atau bahkan memasuki periode Pemilu tahun 2009?

Mungkin ada beberapa yang menjadi catatan menurut saya pengaruhnya. Pertama, aksi Short Selling pasti akan membludak di bursa kita, bila regulator tidak secepatnya menerapkan aturan yang membatasi, yang pengaruhnya bisa tiba-tiba pada moneter dan inflasi. Kinerja BI kerjasama dengan kementerian keuangan dan ekonomi kita perlu secara cerdas memaknai gejala akhir-akhir ini.
Kedua, Faktor inflasi masih menjadi borok yang membahayakan (bulan agustus inflasi 0,52%, januari s/d agustus 9,4 %; Year On Year Agustus 2007-Agustus 2008 sudah mencapai 11,85%) bila faktor moneter—rupiah sempat menyentuh angka di atas 9400-an, sebelum terakhir kemarin menguat di angka 9300-an --- tidak kita kendalikan sebaik mungkin, mengingat ramadhan dan lebaran yang sementara dihadapi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ketiga, Ekspor kita kekurangan pasar. Kalo Amerika dan Eropa sebagai negara tujuan ekspor peringkat atas, khususnya produk manufaktur seperti TPT dan alas kaki, yang bisa mencapai 45 % dari total eksport, yang dirudung masalah kredit macet, dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan di sana, PHK, dan turunnya kemampuan daya beli masyarakat di sana, ini menjadi masalah bagi penerimaan dari sisi ekspor kita, berarti kita perlu sedini mungkin melihat pasar baru ke Timur Tengah atau Afrika misalnya., guna menyelamatkan target eksport.
Keempat, realisasi anggaran belanja yang belum sesuai target APBN P 2008.
Kelima, Karena peristiwa Lehman dan krisis subprime mortgage di Amerika ini, bertali temali secara global, tentu dan pasti pengaruhnya bagi kondisi stabilitas investasi kita di tanah air. Paling tidak ini ditengarai oleh mantan Menteri Ekonomi era Gus Dur, Rizal Ramli.

Dari beberapa catatan itu, isu ekonomi ini pasti sangat rentan dengan gemuruh politik kita. Tergantung bagaimana kita memaknai dan mensikapinya.

Sepuluh tahunan lampau hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pembangunan ekonomi yang kita lakukan. Apakah bisa meleset menjadi krisis tahap II bagi kita di Indonesia?, waktu dan sikap serta kebijaksanaan kita lah yang dapat menjawabnya. Toh, signal-signal telah di papar.
Sekedar informasi, krisis ambruknya perusahaan-perusahaan besar di Amerika sekarang ini, lebih hebat daripada kejadian depresi tahun 1930-an, dimana John Maynard Keynes populer dengan solusi ekonominya. Kita tidak tahu , resep ekonomi politik apa yang akan dilakukan Ben Bernanke dan Henry Paulson. Yang pasti penggerak-penggerak fundamentalisme pasar ini telah mulai mengingkari perjuangan ideologi ekonominya alias intervensi. Terakhir, ada koalisi bank-bank sentral di Amerika, Eropa, Inggris dll untuk menginjeksi/mengintervensi pasar demi keselamatan likuiditas ekonominya.
I
Katrol ekonomi sebuah negara, khususnya Indonesia dalam dasawarsa terakhir ditunjukkan pada variabel volume konsumsi. Bilakah gejala global tersebut diatas pelan dan pasti memasuki di sektor ini. Minimal, pintu pengaruhnya itu lewat eksport import dan investasi. Setelah sesudahnya mungkin kalau tak hati-hati mempengaruhi moneter dan inflasi kita. Dan bilamana hal itu terjadi, maka pasti akan tergerus pada target pertumbuhan di tahun ini, atau maksimal di tahun 2009 nanti. Di saat fokus dan keringat kita meleleh-leleh dengan pesta demokrasi.

Secara politik, bila kita mencerna, keributannya di mulai dengan soal dan isu ekonomi. Coba perhatikan Soekarno, Soeharto, atau coba kita tengok ke Thailand, mulai Thaksin, Samak hingga Somchai sekarang ini. Karena, terang saja, bahwa komoditi isu ekonomi adalah komoditas politik penting bagi proses demokrasi.

Senin, 16 Juni 2008

PELAJARAN DARI OBAMA…

Riuh politik Indonesia, semenjak reformasi 1998 hingga hari ini, terasa mengingkari peran orang muda dalam momentum politik demokrasi Indonesia yang dicita-citakan. Terasa, kereta reformasi dirampas oleh generasi tua dan sisa-sisa Orde Baru. Sedangkan orang muda, termasuk mahasiswa dikerangkeng sedemikian rupa untuk dibuat tidak mampu memapah reformasi Indonesia yang dicita-citakan. Maka, sebetulnya tak layak jikalau kita mau mengevaluasi kinerja 10 tahunan pasca reformasi, karena toh yang menjadi aktor dan pelaksananya adalah terpidana-terpidana reformasi. Ibarat, Mahasiswa dan orang muda yang menodong mereka semua ke Lembaga Pemasyarakatan Reformasi, sesampainya disana bukan mereka yang di penjarakan, melainkan mahasiswa dan orang muda itu sendiri.

Dalam tahun 2008 sekarang ini, ada dua hal yang mestinya menyibak rasa dan peran orang muda dan mahasiswa di Indonesia. Pertama, sirkularitas kebangkitan bangsa yang diemban orang muda dan mahasiswa semenjak perasaan itu menentukan adanya bangsa dan Negara ini , 100 tahun lalu. Sirkularitas satu abad kebangkitan tersebut, layaknya dilihat sebagai paparan peran dan semangat kebangsaan yang mestinya dicontohi dan ditauladani sedemikian rupa demi langkah optimis ke depan, menuju Indoesia yang kita cita-citakan. Tentu, dengan melihat kualitas sejarah seratusan tahun tersebut mestinya dapat mencambuk semangat dan keberpihakan kita bagi pembangunan bangsa yang beradab, makmur dan sentosa. Tetapi, memang tidak sesederahana itu, kegagalan 10 tahunan reformasi yang kita lakukan hingga hari ini, harusnya menyadarkan kita semua untuk reformulasi gerakan dan kembali bergerak, kalau perlu mengagendakan diri untuk merebut momentum 2009. Ingat, kita belum boleh harus percaya dengan generasi tua yang gagal meng upgrade bangsa ini.
Kedua, Mudahnya informasi di raup dalam abad Tekhnologi Informasi sekarang ini, membuat isu dan kehebohan besar di seberang Negara, bisa mencambuk spirit politik orang muda di Indonesia. Inilah yang terjadi dengan hebohnya orang muda semacam OBAMA meliuk jalan terjal mendaki jalur demokrasi di negara paman sam United States Amerika. Yah, Obama menjadi orang pertama, berkulit hitam , muda, pintar, dengan latar belakang multi etnis calon presiden dari partai Demokrat paling laku abad ini. Dia mengalahkan saingan terkuat, Hillary Rodham Clinton, istri mantan presiden Bill Clinton.

Bullshit dengan perayaan-perayaan
Sekiranya kita tak menemui raupan spirit orang muda itu pada perayaan-perayaan besar semacam seratusan tahun kebangkitan nasional kita, atau kekecewaan kita dengan sepuluh tahun kegagalan reformasi yang kita perjuangkan, maka, sewajarnya Obama, yang sempat menghirup Indonesia, menjadi panutan dan pencambuk motif muda Indonesia.
Daripada kita sibuk membantah habis-habisan kalangan reaksioner Islam atas prakarsa dan perayaan-perayaan imbuhan kebhinekaan dan kebangkitan nasional yang kita lakukan, lebih baik kita mencerna tauladan Obama dan sistem demokrasi serta masyarakatnya dalam politik Amerika mutakhir.
Dilahirkan dari pasangan Barrack Hussein Obama, seorang Kenya dan Ann Dulham, wanita cantik berkulit putih yang sama-sama di Harvard University, tidak membuat Obama kecil merasa kasih sayang yang sempurna dari kedua orang tuanya. Karena setelah pisahnya kedua orang tua, dimana Barrack Senior pulang ke Kenya dan Ann Dulham mendapatkan kekasih barunya dari Indonesia Lolo Soetoro, kemudian tinggal di Indonesia dimana Obama turut serta, tidak membuat Obama betul-betul seperti anak pada umumnya. Meski Obama yang sempat tinggal di Indonesia, sempat menyaksikan kemiskinan dimana-mana pada tahun 70-an itu, membuatnya tetap rindu sama keluarganya, akhirnya pulang ke rumah kakek-neneknya di Hawaii.

Lulusan Fakultas Hukum Harvard University dengan predikat Magna Cum Laude ini, semenjak itu bertarung dengan nasibnya, menjelajah relung-relung masyarakat demokrasi Amerika, yang akhirnya membuat ia terdampar di politik hingga membuatnya menjadi sekarang ini “the presumptive Democratic nominee” untuk calon presiden Amerika dari Partai Demokrat.

Pelajaran yang bisa diambil
Apa yang layak mencambuk kita orang muda Indonesia untuk mengambil pelajaran tentang fenomena Obama ini.

Pertama, Sistem demokrasi membuat siapapun memiliki peluang untuk menunjukkan prestasinya, sekalipun itu menyangkut kendali setir kekuasaan sebuah Negara.

Sudahkan kita menikmati hal seperti ini, mengingat kita telah berjuang dan mencatat bahwa arah bangunan demokrasi sudah dimulai semenjak reformasi 1998?
Sepuluh tahun sudah berjalan, sekiranya masih di sebut sebagai perihal transisi menuju cita-cita demokrasi yang sebenar-benarnya, maka sangatlah terlalu berlebihan.
Lihatlah carut marut demokrasi Indonesia, dimanakah orang muda berada, dimana suara mahasiswa yang membahana siap mengadili Soeharto(…boro-boro mengadili, dia meninggalkan gading politik bagi pewaris-pewarisnya).
Mereka semua tidak lari, mereka ada. Tapi mereka kalah dalam menggapai dan mengelola amanat besar demokrasi itu. Mereka tidak kalah mungkin, melainkan mereka ditipu oleh orang-orang tuanya. Ataukah mereka bukan ditipu, melainkan mereka tidak mampu bersaing dengan orang-orang tua? Ah.., seribu alasan bisa kita berikan. Yang pasti, orang-orang tua rasanya belum rela meninggalkan warisan itu bagi kita, orang-orang muda, pelopor kebangkitan bangsa 100 tahun lalu, pelurus kesesatan arah setir kekuasaan Negara ini. Dan, pemilik masa depan yang energinya di singsingkan bagi masa dan cita-cita demokrasi itu terwuijud di Indonesia.

Kedua, Yang muda yang berprestasi diberi peluang sebesar-besarnya berpartisipasi dalam demokrasi.
Yang muda yang berprestasi di Indonesia dimanakah berada?, sudikah diberi tempat untuk mengekspresi cita-citanya dalam partisipasi demokrasi, sembari yang tua tidak meng-underestimate kemampuan orang muda memanej kekuasaan di Negara ini.

Masihkah tetap muka-muka lama seperti Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Yusuf Kalla, Akbar Tandjung, Wiranto yang akan terlihat dalam percaturan politik dalam pesta Pemilu tahun 2007?, Ataukah mereka rela memberi angin segar bagi orang-orang muda seperti Drajat Wibowo, Zulkiflimansyah, Rama Pratama, Budiman Soedjatmiko, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar , Yuddy Chrisnandi dan lain-lain untuk berpartisipasi lebih banyak dalam mainstream politik Indonesia mutakhir.

Mari kita berkaca dengan kegagalan satu dasawarsa terakhir, bahwa emban generasi tua dalam kelola kuasa tidak dapat membuat kebangsaan ini sesuai dengan cita-cita reformasi. Berkaca pada politik, berkaca pada ekonomi, hukum , kebudayaan dsb. Untuk selanjutnya dengan legowo, memberi estafet perubahan untuk mengarahkan pembangunan ini pada generasi baru, generasi internet, generasi abad tekhnologi informasi. Berikan kepercayaan itu.
Apakah para orang tua siap melakukan itu. Diluar sana, banyak yang percaya sama orang muda, banyak yang sudah memberi estafet pada generasi baru ini. Di Indonesia………

Ketiga, Sistem demokrasi yang menghormati kemajemukan atau pluralitas lah yang dapat menerima siapapun, tanpa memandang latar belakang agama, etnis yang bersangkutan.

Obama hadir dalam suasana system masyarakat seperti ini. Kalau saja, Obama hidup dalam masyarakat rasis dan anti asing, anti imigran, mungkin Obama tak memiliki peluang secuilpun untuk mengekspresikan cita-cita politik di negeri tempat lahirnya ini.

Bagaimana dengan Indonesia, yang katanya Negara multi etnis, multi cultural dan multi agama?, Benar, kita memiliki konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang dirumuskan oleh “founding father” semenjak kemerdekaan negara ini. Anehnya, kekuatan-kekuatan konservatif radikal , dan fundamentalis agama, sering membayang-bayangi kehidupan plural di masyarakat kita.
Sudahlah, kalau itu sudah merupakan kejadian dalam tenor kekuasaan Soeharto dan Soekarno 50 tahun lamanya hingga 1998. Tetapi, justeru memulai momen reformasi ini, kita di suguhkan tragedi-tragedi berdarah perang etnis dan agama, yang lagi-lagi dipelopori oleh kelompok konservatif radikal dan fundamentalis agama ini. Bahkan, pada saat kita memperingati Hari Saktinya Pancasila (01 Juni 2008) kemarin sekalipun, masih tersuguh tragedi-tragedi yang memilukan.
Tak usah pula misalnya kita mau memaparkan gerakan terorisme ala Indonesia yang berkali-kali terjadi beberapa tahun yang lalu.
Trus, apa yang menyuburkan hal ini, dan sejauh mana system sosial politik plural yang kita punya, relevansinya bagi masyarakat majemuk di Indonesia. Rasanya kita perlu berpikir panjang!

Keempat, Generasi Tekhnologi memenangkan persaingan.

Sudah sangat kita ketahui bahwa, keberhasilan Obama, dari pengumpulan ongkos Pemilu sampai dengan melakukan kampanye, dilakukan dengan internet. Team suksesnya mengandalkan jaringan maya untuk melakukan pengumpulan bantuan kampanye via jaringan maya. Bandingkan dengan orang kaya Hillary dan Mc Cain, yang kedodoran mencari biaya kampanye karena masih melakukan cara-cara konservatif. Hillary, sampai harus mengeluarkan uang pribadinya.
Orang muda Indonesia, yang mengandalkan tekhnologi bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh Obama ini, bahwa politikpun bisa dengan mengandalkan jaringan maya, sekalipun itu menyangkut pengumpulan anggaran.

Abad Tekhnologi Informasi, mestinya memberi lahan basah secara politik maupun ekonomi bagi orang muda, karena penikmat dalam jejaring maya ini adalah pasarnya orang muda. Demikian dengan Indonesia. Masalahnya, kita belum melihat kiat jejaring dilakukan secara serius. Nah, bila kita sadar ini adalah jalur cepat meng-agregat gerakan generasi baru dengan mencontohi apa yang dilakukan Obama, saya pikir menjadi catatan mode pergerakan baru di Indonesia.
Hal ini sudah banyak benihnya, tinggal mengagregatnya dan mengefektifkan secara politik dan ekonomi di masyarakat.

Nah lho. Ini pelajaran bagi orang muda Indonesia, tinggal terserah memulainya.

Senin, 02 Juni 2008

ORGANISASI PARA BAJINGAN...?

Penyerangan oleh massa Front Pembebasan Islam terhadap massa Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas 01 Juni 2008 kemaren meninggalkan kecemasan yang parah dikalangan tokoh, pimpinan dan organisasi Islam. Bagaimana tidak, watak dan karakter massa tersebut lebih mengesankan sebagai para bajingan daripada organisasi dan massa yang benar-benar membela Islam...., saya sampai dibuat bingung lho, apa yang di bela dari Islam, dan apa yang diperjuangkan, kalo misalnya pada akhirnya yang dipake mereka adalah tindakan dan karakter anarki!!!. Tak kurang 70 orang dari massa AKBB menjadi korban penganiayaan dari massa FPI.

Negara kita bukan negara agama, tidak lantas membuat saya atau para aktivis semacam AKBB tidak mau membela Islam, dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Toh, alasan yang disampaikan oleh aktivis FPI, Munarman, Habib riziq dll karena AKBB membela Ahmadiyah, bukan alasan yang tepat dengan meresponinya dengan cara yang yang biadab...

Sewaktu melihat dialog antara salah satu korban penganiayaan massa FPI, KH Makmun(salah satu pimpinan Pondok pesantren dan aktivis NU) dengan Habib Ridziq di TV One tadi malam, nampak si Habib menunjukkan karakter seorang bajingan daripada seorang ulama.., bahkan dengan cukup berani menantang pemerintah segala, bilamana ada pihak pemerintah atau polisi yang mau menangkap para tersangka di FPI.

Betul kata Gus Dur, pemerintah sudah harus berani(jangan takut), demi menegakkan hukum harus di tinjau kembali organisasi-organisasi semacam ini. Dan tidak lagi permisif dengan mereka yang jelas-jelas berkarakter bajingan sejak awal.

Ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan mengingat kejadian yang terjadi di Monas 01 Juni 2008 kemaren.
Pertama, Kebebasan berpendapat dan berkeyakinan di Indonesia mesti menjadi payung hukum yang betul-betul implementatif. Pemerintah mesti berperan betul-betul sebagai protektor bagi semua aktivis yang menjalankan ini. Ini harus ditegaskan pemerintah, tentu apabila ada karakter-karakter massa yang menyimpang dari hal ini harus diresponi secara hukum dan kebijaksanaan.
Kedua, ruang publik bagi kehidupan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan harus di lindungi secara baik dan bijaksana , minimal dari aparat kenegaraan dimanapun mereka berada atau mereka berekspresi( sekalipun misalnya massa AKBB hanya memberitahukan aksinya di Monas 2008 dan tidak diizinkan), toh kenyataannya massa tetap berada di sana, dan para polisi tidak berada.
Ketiga, pemerintah harus tegakkan acuan nilai-nilai dan aturan tentang organisasi massa yang sesuai dengan Pancasila sebagai Ideologi negara yang kita anut.
Empat, Segala bentuk penyimpangan dari asas dan Ideologi negara harus tegakkan secara hukum dan peraturan perundang-undangn yang berlaku, tidak hanya menjadi catatan-catatan intelijen semata.
Lima, Keberpihakan demokrasi harus betul-betul menjadi agenda pemerintah sehingga, massa yang menyimpang dari nilai-nilai demokrasi dapat ditegakkan secara hukum , sedini mungkin. Dilain sisi, menjadi penopang, pelindung pengayom massa dan bangsa Indonesia yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.

Supaya kita lebih beradab, atas nama agama, bangsa dan negara secepatnya pemerintah mengambil langkah-langkah tepat tentang kejadian kemaren, sebab kejadian ini bukan sekedar kejadian kriminal biasa, melainkan memiliki dampak sosial politik dan agama yang menyesatkan. Wallah a'lam.

Jumat, 23 Mei 2008

PADA AKHIRNYA BBM NAIK......

Akhir tahun 2007, mesti sudah bergejala minyak mulai meliar dalam harga per barelnya, membuat SBY dan pemerintahannya bersikukuh untuk tidak menaikan harga, karena di saat itu menurut pemerintah masih banyak opsi lain selain menaikkan. Oleh beberapa kalangan di sebut bahwa SBY melakukan janji kepada rakyat untuk tidak menaikkannya, bahkan Wiranto(mantan atasan langsung SBY) sampai harus mengiklankan diri menyangkut janji untuk tidak menaikan BBM ini.

Di awal 2008, Pemerintah mulai gerah karena harga minyak dunia semakin betul-betul liar(sudah mulai menembus di atas angka $ 100 per barel). Maka, muncullah opsi perubahan APBN 2008. Cukup radikal perubahannya. Dari opsi perubahan patokan harga minyak dari $ 60 menjadi $ 95 per barel hingga asumsi pertumbuhan dan inflasi, termasuk target produksi minyak per hari di tahun ini. Yang semula 917.000 menjadi 927.000 barel per hari. Hanya saja waktu itu, kita masih di henyak dengan kondisi bursa Amerika tentang krisis kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), dan yang tiba-tiba juga melindas pada harga pangan dan komoditi, untuk yang satu ini beberapa kalangan menyebut akibat pasokan pangan yang dipakai untuk industri biofuel dan bioetanol, sebagai alternatif energi yang mulai di manfaatkan oleh Negara-negara besar semacam Amerika. Karena Amerika merupakan produsen besar gandum dan kedelai, lantas harga-harga di seputar itu meroket, demikian juga turunannya.

Perlu diketahui, sewaktu ditelisik kepada OPEC tentang liarnya harga minyak yang membumbung, pasokan stabil bahkan berlebih, di lain sisi permintaan tidak seberapa membludak sehingga kenapa dapat menaikkan minyak?, makanya oleh OPEC tidak mau menambahkan produksinya. Kalau di awal-awal kenaikkannya harga minyak dunia orang menduga-duga karena kondisi di seputar konflik perbatasan antara tentara Turki dan suku kurdi Selatan Turki, atau kejadian di Norwegia yang mempengaruhi naiknya harga.
Maka Terakhir ini ada anggapan kongkalikong antara Bush dan lima raksasa minyak (Exxon, Chevron, Conoco , dan beberapa saya lupa menyebutnya), yang oleh salah satu analis amerika menyatakan berspekulasi pada pasar saham minyak yang pada hari ini melonjak menembus angka $ 137 per barel.



Memasuki Maret 2008 harga mulai sangat liar betul menembus angka diatas $ 120 per barel. Lantas, pemerintah sudah mulai linglung apa kiranya akan dilakukan. Sewaktu itu pemerintah mulai berwacana tentang bakal jebloknya anggaran(APBN P 2008) bilamana tidak secepatnya ada kebijakan yang meresponi liarnya harga minyak tersebut. Maka, mulailah langkah penghematan dilakukan. Semua anggaran pada departemen dan nondepartemen dipangkas sampai dengan 15 %, meski harus berjibaku dengan beberapa departemen. Tetapi, tentu belum cukup, maka di april akhir, mulailah opsi itu bergulir, …menaikkan BBM.

Memang simalakama buat pemerintah baik menaikan BBM atau tidak. Karena dua-duanya memberi problem akut bagi anggaran dan rakyat. Bila tidak dinaikkan, di sinyalir APBN bakal jebol, bahkan subsidi di prediksi bakal menembus angka di atas 200 trilyun atau hampir sepertiga dari anggaran belanja pemerintah, demikian kalkulatif makro ekonominya pada pertumbuhan, inflasi dan jumlah orang miskin yang menurut catatan menkeu diatas prediksi bila harga minyak tidak dinaikkan, dan subsidi lebih banyak dinikmati orang kaya (sebesar 20 % orang kaya menikmati 40 % subsidi dan 40 % orang miskin yang menikmati 10 % subsidi). Bukankah lebih baik, anggaran subsidi di berikan kepada orang miskin. Maka bergulirlah skenario oktober 2005, meski menggunakan data lama (19,1 juta) program dadakan ini dijalankan demi meloloskan kebijakan menaikan BBM. Dan, kemarin Jumat 23 Mei 2008, Bantuan Langsung Tunai mulai di berikan, bertepatan malamnya jam 00.00 pemerintah langsung menggulirkan kebijakan menaikkan BBM tersebut.


Suara-suara penolakan dari parlemen jalanan hingga senayan serasa angin lalu, yang buat pemerintah semacam divestasi ongkos politik dalam menghadapi pemilu 2009, tetapi toh, belum ada yang cukup solutif memberi jalan keluar bagi beratnya anggaran yang dirasa oleh pemerintah sekarang ini. Tapi tunggu dulu, saya tertarik dengan hitung-hitungan Kwik Kian Gie tentang subsidi, yang menurut Kwik pemerintah bahkan kelebihan uang tunai sampai dengan 82 trilyun rupiah, coba kita ambil salah satu hitungannya sbb :

Menteri Ani memberi angka-angka sebagai berikut. Lifting : 339,28 juta barrel per tahun Harga minyak mentah : US$ 95 per barrel Nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$ Penerimaan Migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun. Dari angka-angka tersebut dapat dihitung berapa hak bangsa Indonesia dari lifting dan berapa persen haknya perusahaan asing. Perhitungannya sebagai berikut. Hasil Lifting dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x Rp. 9.100 = Rp. 293,31 trilyun. Penerimaan Migas Indonesia : Rp. 203,54 trilyun. Ini sama dengan (203,54 : 293,31) x 100 % = 69,39%. Untuk mudahnya dalam perhitungan selanjutnya, kita bulatkan menjadi 70% yang menjadi hak bangsa Indonesia. Jadi dari sini dapat diketahui bahwa hasil lifting yang miliknya bangsa Indonesia sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya 339,28 juta barrel per tahunnya, milik bangsa Indonesia 70% dari 339,28 juta barrel atau 237,5 juta barrel per tahun. Berapa kebutuhan konsumsi BBM bangsa Indonesia? Banyak yang mengatakan 35,5 juta kiloliter per tahun. Tetapi ada yang mengatakan 60 juta kiloliter. Saya akan mengambil yang paling jelek, yaitu yang 60 juta kiloliter, sehingga konsumsi minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksinya. Produksi yang haknya bangsa Indonesia : 237,5 juta kiloliter. Konsumsinya 60 juta kiloliter. 1 barrel = 159 liter. Maka 60 juta kiloliter sama dengan 60.000.000.000 :159 = 377,36 juta barrel. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang dikatakan Menteri Ani tentang harga minyak mentah US$ 95 per barrel, saya ambil US$ 120 per barrel. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000 per US$”. Walaupun kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000 per US$”. Hasilnya seperti yang tertera dalam Tabel III, yaitu Pemerintah kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,71 trilyun, walaupun dihadapkan pada keharusan mengimpor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rakyatnya. Produksi minyak mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia 237,5 juta barrel. Konsumsinya 60 juta kiloliter yang sama dengan 377,36 juta barrel. Terjadi kekurangan sebesar 139,86 juta barrel yang harus dibeli dari pasar internasional dengan harga US$ 120 per barrelnya dan nilai tukar diambil Rp. 10.000 per US$. Toh masih kelebihan uang tunai (sumber tulisan dari www.koraninternet.com)

Coba kita pikirkan bersama. Nah lho!!

Jumat, 18 April 2008

SAATNYA ERA EKONOMI


Hingar bingar kepolitikan daerah, pusat ataupun mancanegara, tak rudung membuat melek analis, tentang misalnya arah masa depan dunia, dari sisi pandang kepolitikan, melainkan rumusannya lebih meng-ekonomi ketimbang politik kekuasaan, meski dalam hal ini kita bukan mengenyampingkan segmen kepolitikan.

Kalau saja, bisa kita peta-petakan historinya, semenjak era spiritualitas dan agama, memasuki era saintis , kemudian kepolitikan dan sekarang, adalah era kebangunan ekonomi, maka rasanya sangat relevan bila kita katakan bahwa arah masa depan dunia, sangat ditentukan oleh carut marut plan ekonomi, yang me-lokal, nasional, bahkan global. Rasanya sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, dunia tidak lagi ditentukan oleh segmentasi politik kekuasaan an sich, sebagaimana kita kenal, melainkan lebih mengarah kepada riuh dan gemuruh keekonomian.(dimana politik melunak, dan included)
Bukankan, era Ideologi, sebagaimana sinyalir Francis Fukuyama, tak relevan lagi dalam dialog kesejarahan, atau misalkan Huntington tentang teori Clash of Civilization(benturan peradaban) tak relevan lagi dalam lakon ekonomi yang mengglobal, (…hal ini misalnya dibantah abis-abisan oleh Amartya Sen dalam bukunya tentang Krisis Identitas)

Olehnya, ketika melek dengan kasus-kasus politik nasional, atau internasional, pengendali domain utama untuk semuanya tentu saja adalah ekonomi, Maka sewaktu memahami latar belakang krisis Timur Tengah dari Palestina hingga Iran, pasti tak lepas dari keterlibatan ekonomi Dick Cheney(wapres US), atau beberapa pelakon ekonomi minyak di Timur tengah. Atau, kenapa Amerika dan Jepang tak pernah mau bersungguh-sungguh menerapkan protokol Kyoto, tentang menurunkan emisi sekian persen di negaranya. Sekedar informasi, di Jepang sekarang lagi riuh konflik politik antara LDP dan Partai Demokrat menyangkut menaikkan BBM, untuk seterusnya menambah pajak, untuk pembangunan jalan, atau menurunkan BBM, dan pengalihan anggaran pajaknya ke pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan (Kompas, rubrik opini tgl 06 April 2008)

Sewaktu membaca Naisbitt dan Aburdene, dalam bukunya yang berbeda(Mindset dan Megatrend 2010) dua pertiga-nya membahas tentang indikator-indikator keekonomian dalam kecenderungan masa depan dunia, setidaknya dalam starting point-nya sejak 2010, demikian analis Patricia Aburdene.

Untuk pemilihan umum, seperti Amerika saja, sangat tergantung pada keberadakan kocek masing-masing calon. Lihat saja kocek siapa yang lebih tebal antara Hillary dan Obama?

Lantas, bukankah politisi, intelektual, aktivis, birokrat, pimpinan daerah, bahkan nasional tiba-tiba jatuh dari kariernya cuman karena ghirah keekonomian, yang kebetulan sesat di hadapan regulasi, aturan dan undang-undang, alias korupsi.
Lihat saja Anwar Nasution(BPK) dan Antasari Azhari(KPK) sekarang ini berdansa-dansi dihadapan semua komponen dan lembaga kenegaraan demi kebangunan ekonomi kenegaraan dan kebangsaan yang benar-benar terarah sesuai rencana dan pelaksanaan. Bank Sentral saja keteteran ketika memasuki domain ini, bahkan lembaga paling berwibawa di Indonesia semacam Kejaksaan dan Mahkamah Agung sekalipun, nyaris tetap terkait ke dalam domain ekonomi(yang sesat) dimaksud.

Jangan heran, era keekonomian di zaman Sri Mulyani sekarang ini dapat memetakan carut marut ketidak becusan kelola ekonomi kenegaraan. Karena, nanti di era SBY sekarang inilah kita mengenal yang namanya Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, hingga program turunannya(derivative).Olehnya kemudian, bermacam-macam ketidakbecusan kelola anggaran membuncah di hadapan kita. Maka tahulah kita ketidakberesan-ketidakberesan kelola anggaran dari daerah hingga pusat. Terakhir yang sempat kita tahu adalah ratusan triliun asset daerah dan negara yang tak ada dalam laporan keuangan lembaga, instansi dan negara, lalu kemanakah ?, Kemudian asset negara yang dialihkan dan belum lama ini tentang RDI .

Dalam Dunia Global
Tentang dunia global, pasti kita masih di henyak oleh dampak krisis kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) di Amerika yang membandul dunia, harga minyak membumbung hingga OPEC pun tidak mau menaikan produksinya, dan pangan yang harganya melambung tinggi. Indonesia saja, akibat gemuruh resesi ekonomi global dimaksud, membuat dampak inflasi dari Januari 2007 sebesar 1.27 %, Pebruari 0.65 % dan Maret 0.95 %. Ada keraguan asumsi target inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam APBN Perubahan 2008 yang berkali-kali di ubah itu, tidak akan tercapai seperti di harapkan. Kalau kita menargetkan pertumbuhan ekonomi dari 6.8 % kemudian di pangkas menjadi 6.3 %, maka Bank Dunia dan IMF menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia cuman 6.0 %.
Amerika, yang anggarannya banyak tersedot pada anggaran perang di Irak, pertumbuhan ekonominya diasumsikan cuman bergerak di angka 1.6 % tahun ini, Bandingkan dengan tahun 2007 sebesar 2.5 %. Triwulan I 2007 baru-baru ini saja, Amerika cuman mencatat angka pertumbuhan 0.6%, bahkan ada sinyal yang menakutkan dari Ben Bernanke, Gubernur The Fed, Bank sentralnya Amerika bahwa kita segera memasuki era stagflasi(dimana ekonomi tak tumbuh dan inflasi melambung) atau resesi, bahkan resesi global. Sekedar diketahui putaran ekonomi Amerika adalah sebesar 25 % dari total putaran ekonomi dunia. Maka tak diragukan , Amerika terseguk (kukehe), akibatnya membandul dunia ekonomi global, Eropa sampai Asia.
Tahun ini, raksasa ekonomi Asia, China dan India, masing-masing menargetkan asumsi pertumbuhan ekonominya sebesar 8 % dan 9.2 %, bandingkan dengan angka pertumbuhannya di Tahun 2007.
Dari sisi moneter, akibat macetnya kredit subprime mortgage di Amerika, banyak perusahaan investasi dan finansial raksasa di Amerika yang tiba-tiba mendulang rugi ratusan milyar, malah terancam bankrut. Maka, perusahaan investasi sekelas Bear Stern pun tiba-tiba harus dibantu oleh pemerintah Amerika lewat JP Morgan untuk menginjeksi dan menyelamatkan perusahaan tersebut. Setelah juga beberapa perusahaan besar lainnya merugi semacam City Group, Merril Lynch, dan lainnya. Kemudian Eropa kena dampaknya, hingga ke Jepang. Terakhir perusahaan investasi raksasa Jepang Mizuho Group Inc. harus menghapus bukukan kredit macetnya.

Isu Lingkungan
Gemuruh keekonomian juga menggeliat ke isu lingkungan. Maka, tak heran dalam konferensi perubahan iklim di Bali beberapa waktu lalu, salah satu agendanya menghitung emisi karbon yang dikalkulasi dalam hal untung rugi keekonomiannya. Tetapi, tentu saja ada batasan-batasan yang berbahaya dalam perilaku ekonomi makro yang terlampau optimis, paling tidak ini menjadi problem ketika Amerika dan beberapa Negara lainnya menggeliatkan keekonomiannya dalam hal energi pengganti, sebagai pengganti BBM ke segmen biofuel semacam kedelai. Dampak sederhananya, ada yang mengatakan pada meningkatnya harga pangan dunia, yang kemudian pengaruhnya pada harga pangan negara-negara lainnya. Mungkin sikap seperti itu, semacam terobosan penting daripada terjebak pada isu mengurangi emisi karbon, yang tentu pula punya logika ekonominya sendiri.

Hal yang paling sesat dalam isu ini untuk negara kita, adalah saat keluarnya PP no. 2 Tahun 2008, dimana aturan tersebut mengatur tentang sewa hutan lindung sebesar harga pisang goreng, yang oleh kalangan peduli lingkungan di bantah habis-habisan.

Daerah
Momentum semacam ini, untuk daerah Gorontalo rasanya sudah dimulai semenjak Fadel terpilih menjadi Gubernur. Lepas dari kaidah dan tafsir kepolitikan, Fadel menyetir daerah ini mendekati karakter keekonomian sebagaimana yang kita maksudkan, yakni berupaya mensejahterahkan rakyat dengan memberdayakan rakyat dalam cara memberdayakan variable-variabel ekonomi penting di daerah yang lebih melekat kerakyatannya. Meski memang belum optimal sebagaimana yang kita harapkan semua, nampaknya dukungan bagi semua program ekonomi kerakyatan , tanpa pretensi politik apapun layak kita terima dan bekerja. Sebaliknya menjual(maksudnya promosi) daerah ke pusat, daerah-daerah lainnya hingga ke luar negeri, tidaklah elok bila mana agenda ekonomi kerakyatan belum senyata-nyatanya menyentuh semua rakyat Gorontalo.
Dengan alasan pertumbuhan ekonomi rata-rata beberapa tahun terakhir di atas 7 %, tak layak menjadi acuan bagi berhasilnya memberdayakan ekonomi sebagaimana yang kita inginkan. Hal semacam ini, pernah berkali-kali dilakukan di masa Orde Baru, tetapi justeru rakyat masih sengsara dan menderita.

Suatu kali saya pernah bertanya ke seorang birokrat pertanian di daerah ini, kalau kenaikan rata-rata diatas 7 % pertumbuhan ekonomi di daerah ini beberapa tahun berjalan, darimanakah ? karena, terang saja, beberapa pendatang yang bermukim di daerah ini banyak bertanya tentang Jagung yang didengung-dengungkan di media, sebagai komoditas utama dan menjadi icon di daerah ini. Tetapi, ketika berada di daerah ini jarang ditemukan. Birokrat yang ditanyakan itu menjawab : … dari pemerintah daerah? Lho…. Lha iyya, uangnya dari pemerintah kemudian di bikin macam-macam proyek pembangunan, dan lalu di catat sebagai pertumbuhan.

Kali lain dalam sebuah seminar BPS, yang menghadirkan semua lembaga keuangan dan perbankan daerah di Hotel Qualiti, saya pernah menyampaikan , perlunya kita melakukan kontrak ekonomi politik demi mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, saya tak tahu apakah isu itu dipertimbangkan? Yang pasti, kalau kesadaran pertumbuhan dan pembangunan yang melokal dan meregional tidak berurat akar pada lembaga-lembaga keuangan dan perbankan yang ada di daerah (yang nyata-nyatanya kepentingan utama mereka adalah kapital /modal), dan kemudian di atur dalam sebuah kontrak ekonomi politik (apapun istilah yang kita pakai) rasanya kita terlampau determinan dengan program rutin pemerintahan di daerah.
Sebenarnya untuk hal ini, pemerintah pusat mulai mencontohi, paling tidak mendekati. Misalkan tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dicetuskan pemerintah dan di distribusikan ke bank-bank BUMN.
Tentang KUR, Responsi daerah kayaknya, belum memadai bilamana kita memperhatikan dalam 5 bulan terakhir ekpansi kreditnya belum menembus di atas 10 % dari total kredit sejak diluncurkan November 2007. Nah, bukankah itu salah satu momentum daerah guna mendaya kan rakyatnya ? Belum untuk sektor lainnya.
Karena untuk daerah semacam Gorontalo yang masih balita ini, infrastruktur, investor, transportasi dan lainnya adalah beberapa hal lain yang tak kurang penting untuk juga di perhatikan. Tentu, dalam kerangka kesejahteraan kerakyatan di Gorontalo.



Demikian, saatnya era ekonomi, sesungguhnya dalam tulisan ini dimaksud bukan sekedar memapar gejala, carut marut keekonomian dan kekurangberdayanya daerah , tetapi menggelitik kesadaran kita tentang pentingnya kesadaran keekonomian, yang berarti kesadaran demi kesejahteraan daerah, bangsa dan dunia, yang meng-include juga politik. Sehingga kerja bhakti keekonomian kita dapat menjadi penopang-penopang (paling tidak dalam bentuk keprihatinan dan perhatian) rumah tangga kebangsaan demi kesejahteraan daerah, negara dan umat manusia. Semoga.